Mohon tunggu...
Abah Ambu
Abah Ambu Mohon Tunggu... -

li homsatun uthfi biha harrol waba-il-hotimah al-mustofa wal murtado wabna huma wal fathimah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sangkuriang dan Sastra Sunda

22 Februari 2013   04:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tatar Sunda mempunyai kekayaan intelektual berupa karya sastra seperti dongeng Sangkuriang Kabeurangan, Sri Pohaci, Ciungwanara, Aki Jangkung, Kean Santang bertemu Imam Ali bin Abi Thalib, Prabu Siliwangi dan Kerajaan Padjajaran yang menghilang, dan lainnya.

Karya sastra yang berbentuk dongeng banyak yang telah menafsirkannya. Misalnya:dongeng Sangkuriang Kabeurangan dianggap orang yang tidak berhasil mengendalikan nafsu amarah, yang disimbolkan dengan tidak selesainya menutup sang hyang tikoro.

Sangkuriang juga dianggap orang yang telah “gelap” sehingga menginginkan ibunya dipersunting, yang kemudian menemukan beurang (siang) yang maknanya sebagai pencerahan atau hidayah atas “kegelepan”nya karena telah bersekutu dengan dunia hitam yang disimbolkan dengan jin dan siluman.

Ada juga yang memaknai bahwa Sangkuriang merupakan symbol “manusia luar biasa”, atau istilah Nietzsche yaitu Ubermensch. Yakni manusia yang tidak lagi menaruh kepercayaan pada setiap bentuk nilai adi-kodrati dari orang lain karena ia menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Hal ini terlihat pada penolakan Sangkuriang atas kebenaran yang disampaikan Dayang Sumbi. Karena bagi Sangkuriang, dirinyalah yang paling benar sehingga ibunya sendiri harus “tunduk” dengan kebenaran yang ada pada dirinya. Namun pada dongeng itu pula Dayang Sumbi berusaha meruntuhkan solipsisme anaknya melalui strategi yang berbentuk persyaratan.

Dengan persyaratan itulah kemudian Dayang Sumbi melakukan siasat sekaligus resistensi yang menjungkirbalikan ego-kuasa Sangkuriang melalui penggagalan yang dilakukan Dayang Sumbi. Dengan gagalnya mengawini Dayang Sumbi-yang tiada lain ibunya-inilah yang dapat saya anggap bahwa inces tidak diperkenankan hadir di Tatar Sunda. Saya tidak tahu apakah ini bentuk resistensi budaya Timur terhadap budaya Barat yang saat itu mungkin sedang menjadi “kiblat” atau pusat kebudayaan dunia? Jika ini benar, maka mitos Oedipus Complex yang membunuh bapaknya dan kemudian berhasil mengawini ibunya (ibu dalam pandangan ini adalah symbol tanah air) adalah ciri budaya Barat yang mengeksploitasi kekayaan alam dengan anjuran mengolah dan menjadikannya sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan dalam rangka mengubah dunia.

Hal inilah yang membedakannya dengan budaya Timur yang begitu menghargai alam sebagai sumber hidup manusia dengan cara melaksanakan ritus seperti nadran laut saat panen ikan, panen pare dengan cara menyimpan sebagian hasil panen dalam tempat tertentu yang diperuntukkan sebagai ucapan terima kasih kepada Nyi Pohaci (Dewi Sri), seren tahun (tahun baru), tujuh bulanan, nyawer, ruwatan bumi yang dilakukan dengan ngarajah sebelum melantunkan pantun-pantun dan doa-doa keselamatan.

Memang dalam hal ini karya sastra Sunda lama sering berbentuk pantun. Pantun dalam tradisi masyarakat Sunda sering di-dalingding-kan pada acara-acara sacral; yang memang di dalamnya terdapat muatan-muatan moral sekaligus bermakna kekayaan batin orang Sunda. Pada dongeng Sangkuriang misalnya terdapat pesan bahwa nadar (Arab=nadzar) yang diucapkan Dayang Sumbi merupakan janji yang harus ditepati, yaitu kawin dengan dengan anjing yang telah menyerahkan taropong. Dan bila ditelusuri dari sejarah yang konon bahwa Sunda terpengaruhi agama Hindu, maka dari itu saya menafsirkan bahwa celeng Wayungyang adalah symbol “kembang desa” yang derajatnya rendah (sudra) dan hidup di kampung yang dekat dengan hutan. Adapun raja yang berburu dan kencing pada batok kelapa itu merupakan simbol pejabat atau ksatriya yang memanfaatkan status sosialnya untuk memetik dan menikmati harumnya “kembang desa”-yang dalam bahasa populer disebut gundik atau istri simpanan. Sedangkan anjing yang bernama Tumang adalah simbol orang yang paling rendah derajatnya yaitu paria.

Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa pada masa itu yang dianggap “manusia” hanyalah kaum brahmana, ksatriya dan waisya. Sedangkan kaum sudra dan paria adalah symbol manusia yang tidak berharga dan dinilai sama dengan binatang, sehingga Sangkuriang yang mewakili kaum ksatriya melakukan tindakan yang dehumanis. Inilah bentuk kesewenang-wenangan manusia (dengan status sosialnya) yang masih sering terjadi di masayarakat. Seperti tindakan anarkis yang dilakukan penganut agama tertentu yang mengklaim bahwa pemboman, penghancuran dan pembunuhan-terhadap orang yang dianggapnya kafir, murtad, zionis, zindik dll-adalah bukti dari “jihad” yang dipersembahkan bagi Tuhan-nya. Bukankah Sangkuriang dengan membunuh si Tumang adalah bukti inginnya mepersembahkan hati yang diminta ibunya?

Itulah apresiasi dari dongeng Sangkuriang Kabeurangan. Siapakah yang menciptakan? Anonim. Benar, karena masyarakat Sunda lama berlandaskan pada budaya lisan (oral tradition) dan bahasa cenderung dianggap alat untuk mengekspresikan kesadaran (batin) masyarakat. Itulah sebabnya dongeng-dongeng yang berbentuk pantun tidak mengenal pengarang individual, karena ia adalah milik masyarakat luas.

Pada dongeng di atas, memang tampak bahwa alam pikiran masyarakat dahulu memang seperti mengada-ada, irasional dan lain sebagainya. Dibalik kemengada-adannya dan keirasionalannya itu kalau kita bisa menafsirkannya akan tampak bahwa para Karuhun Sunda begitu cerdas dan terampilnya mengekspresikan pelbagai getar batin dan keresahan yang ada di zamannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun