Mohon tunggu...
Siti Mahmudah
Siti Mahmudah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sedang dalam proses belajar melihat suatu hal dari milyaran sudut pandang. Akan ku lampaui kebosanaan ! | Communication - Advertising | State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu 2014: Pikir Ulang, Caleg yang Sekadar Menjual Popularitas!

1 Januari 2014   18:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:16 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Popularitas rupanya tidak lagi sekadar istilah akrab di panggung hiburan tanah air atau sebagai istilah akrab para biduan pertelevisian. Popularitas yang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mempunyai definisi : perihal popular, kepopuleran, tingkat. Diera ini, istilah popularitas merambah ke ranah politik Indonesia. Popularitas calon legislatif dianggap sebagai hal yang penting dalam mendongkrak eksistensi partai politik.

Demi kepentingan eksistensi, partai politik berlomba-lomba menggandeng para artis, kendati popularitasnya sangat layak dijual, sekaligus sebagai modal untuk memperbesar potensi raihan suara dalam pemilu. Kehadiran para calon legislatif karbitan ini memang sangat berpotensi mendulang suara, McGinniss (1969) dalam The Selling of The President 1968 pernah menyebutkan adanya kekuatan penting yang diperankan media massa dalam pemilihan. Media massa mampu menentukan pilihan seseorang setelah ikut membentuk, manipulasi citra yang dilakukan seorang kandidat. Terbukti, ada peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang calon legislatif, setelah dipublikasikan media massa. Itulah sebabnya, popularitas artis-artis banyak didekati partai politik untuk menjadi jago mereka. Karena sangat sedikit dari kader mereka yang benar-benar ngetop. Maka dengan menjagokan kepopuleran dari artis tersebut, partai politik tak perlu capai-capai sosialisasi dan memopulerkan nama dan nomor partainya. Nama partainya akan semakin membahana, berbanding lurus dengan tingkat popularitas calon legislatifnya. Namun yang disesalkan, apakah aspek kualitas menjadi dinomor sekiankan oleh para elit politik.

Teori-teori pers klasik selalu mengatakan bahwa “man makes news”, artinya setiap tokoh mempunyai berita. Karena itu, berita bisa diangkat dari mereka yang mempunyai nilai berita. Man makes news merupakan salah satu nilai berita yang menjadi penting untuk disebarkan kepada khalayak. Berita terhadap orang-orang tertentu seperti: selebriti, public figure, orang-orang penting, atau orang-orang ternama, dapat lebih dijadikan suatu nilai berita yang bisa diterima masyarakat karena orang-orang tersebut sudah dikenal melalui media massa, sehingga apa yang terjadi pada diri si tokoh tersebut, menjadi perhatian masyarakat yang kini disebut sebagai masyarakat informasi.

Dalam kaitan ini, para artis atau selebritis tentunya dikenal oleh masyarakat luas melalui tayangan-tayangan sinetron, film, dan infotainment atau tayangan gosip yang selalu memberitakan sisi pribadi artis. Masyarakat merasa dekat dengan si artis karena terpaan media yang setiap hari selalu memberitakan mereka, sehingga ketika artis mencalonkan diri dalam suatu pemilihan umum, tak heran lagi media beramai-ramai memberitakannya karena diri si artis itu sudah mengandung nilai berita dan pantas untuk diketahui masyarakat.

"Ronald Reagan dan Arnold Schwarzeneger merupakan beberapa contoh dimana ketenaran dan popularitas sebagai artis membantu mereka masuk ke dalam dunia politik. Di Indonesia sendiri perilaku semacam ini juga menjadi pola yang sangat digemari partai politik. Mereka cenderung merekrut orang-orang yang memiliki popularitas. Artis (pemain musik, bintang film, pemain sinetron, mantan putri Indonesia) diharapkan dapat membantu meraih suara masyarakat". (Firmanzah, 2007:88).

Popularitas dijadikan tolok ukur utama suatu keberhasilan. Orang yang berkualitas tetapi tidak berada dalam lingkaran kekuasaan pun menjadi tersisih. Sebaliknya, mereka yang berada dalam posisi pusat perhatian media massa (artis) menjadi rebutan partai-partai politik. Semakin besar jumlah penggemar, semakin tinggi nilai jual selebritis bersangkutan. Popularitas pun dibangun menggunakan kampanye media massa yang persuasif, kemasan yang lebih menyentuh hati dan terpaannya terus menerus, sehingga berpengaruh terhadap kognisi dan afeksi komunikan yang tidak lain adalah masyarakat luas. Efek yang diharapkan tentu saja sang calon pemimpin menempel di hati pemilih.

Fenomena popularitas artis dalam dunia politik ini juga disuburkan oleh kondisi dan karakteristik masyarakat Indonesia. Di tengah rendahnya partisipasi politik dan minimnya pengetahuan publik terhadap sosok kandidat, maka popularitas menjadi lebih penting dari visi-misi. Lepas dari popularitas, kemampuan, pengalaman, serta program kerja yang dimiliki kandidat, tidak akan terlalu menjadi perhatian masyarakat. Hal ini wajar jika dilihat dari karakterstik masyarakat Indonesia yang mayoritas buta politik dan berpendidikan rendah. Kedua hal tersebut membuat rakyat tidak peduli pada visi, misi, program kerja, dan janji-janji yang dikeluarkan pada masa kampanye. Karena itu, tak heran popularitas menjadi senjata ampuh dalam memenangkan suara rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun