Dua Puluh Februari 2017 adalah hari pertama saya bekerja di Rumah Sakit Haji Abdoel Majdid Batoe  (HAMBA) Batanghari, Provinsi Jambi. Di sini saya bertugas sebagai dokter internsip selama satu tahun bersama dua puluh teman saya lainnya dari berbagai Universitas di Sumatera; Unsyiah, USU, UISU, UNJA, Universitas Malahayati, dan UNBRAH.Â
Dokter internsip adalah sebuah istilah bagi dokter yang baru menyelesaikan masa pendidikan profesi, dengan tujuan untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan.
Di sini kami digilir dalam 3 bagian, yaitu Instalasi Gawat Darurat (IGD), Rawat Inap/Poli dan Puskesmas. Masing-masing bagian kami jalani selama 4 bulan. Bagian pertama saya adalah IGD. Ruang IGD RS HAMBA berukuran 10x15 Meter yang terdiri dari ruang Triage, Perawatan Bedah, Non Bedah, Ruang observasi dan Ponek.Â
Karena program internsip adalah pendampingan, maka setiap kami jaga selalu ada dokter senior yang mendampingi dan teman berdiskusi setiap kasus yang kami dapat, walaupun setelah 2-3 minggu kemudian kami diberi kesempatan lebih dominan memeriksa, menentukan diagnosis, terapi dan memberikan edukasi kepada pasien.
Saat tugas pertama di IGD, Saya melihat seorang laki-laki paruh baya datang ke IGD sendirian. Pakaiannya kusut dan banyak robeknya, wajahnya tegang, bibirnya pelit senyum, kulitnya hitam gersang, kakinya tanpa alas dan berlumur lumpur, bergelang dan berkalung layaknya dukun, rambutnya kering rapuh, kuku jari jemarinya panjang dan hitam.Â
Dari jarak 3 meter aroma bau tubuhnya masih menyengat. Melihat penampilannya mengingatkan saya dengan sebuah film komedi dari Afrika Selatan yang berjudul "God Must Be Crazy". Tidak sampai di situ, saat saya bertanya "Selamat Pagi, Apa yang bisa saya bantu?", Dia tidak menjawab sama sekali. Dia malah menatap tajam ke arah muka saya.Â
Saya panggil segera perawat membantu mencairkan suasana. Selang beberapa saat kemudian datanglah kepala suku, "Tumenggung" begitulah panggilan orang di sini. Tumenggung inilah yang membantu saya berkomunikasi dengan lelaki misterius tadi walaupun dengan kosakata yang terbatas.Â
Karena hanya demam biasa dia pun saya perbolehkan pulang. Saat pulang saya lihat dia menaiki mobil dengan tulisan "Departemen Sosial Republik Indonesia". Akhirnya setelah beberapa hari saya tahu bahwa pasien pertama saya tersebut berasal dari Suku Anak Dalam.
Suku Anak Dalam (SAD) adalah suku bangsa minoritas yang hidup di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Diperkirakan populasi Suku Anak Dalam sekitar 200.000 orang. Mayoritas mereka bertempat tinggal di Jambi.Â
Di Jambi Suku Anak Dalam kebanyakan tinggal di kawasan bukit 12 dan taman bukit 30 di Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun dan Batanghari. Sebutan Suku Anak Dalam ini adalah istilah yang dipopulerkan oleh Pemerintah melalui Departemen Sosial. Suku Anak Dalam berarti orang yang terbelakang yang tinggal di pedalaman dan jauh dari modernisasi.Â
Suku Anak Dalam dikenal juga dengan nama Suku Kubu. Suku Kubu diproyeksikan kepada kelompok masyarakat yang primitif, bodoh, kotor dan menjijikkan. Sebutan Suku Kubu ini dianggap lebih kasar dibandingkan dengan Suku Anak Dalam.Â