Mohon tunggu...
Choirul Asyhar
Choirul Asyhar Mohon Tunggu... -

Belajar Itu Asyik... belajar nulis apalagi.... makanya dari dulu saya milih gak mau lulus.... biar bisa belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UN dan Terorisme

19 April 2012   01:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:27 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Senin (16/4) siswa SMA dan SMK seluruh Indonesia serentak menjalani Ujian Nasional (UN). Meskipun setiap tahun menjadi pro dan kontra, UN tetap dilaksanakan oleh pemerintah. UN seakan menjadi standarisasi kualitas lulusan sekolah di Indonesia. Dengan lulus UN maka siswa dari sekolah favorit di kota besar sama mutunya dengan siswa dari sekolah biasa di pelosok timur atau barat Indonsesia.

Untuk menghadapi UN, berbagai persiapan telah dilaksanakan sebelumnya. Ada bimbingan belajar, shlat dhuha berjamaah, doa bersama atau istighosah, sampai yang irasional seperti mengaji di atas kuburan keramat.

Hingar bingar pemberitaan UN di media cetak dan elektronik semakin mencitrakan betapa angker dan menakutnya makhluk Indonesia yang bernama UN ini. Ada ruang khusus di dinas pendidikan yang pintunya terkunci rapat, digembok gedhe, dan disegel. Plus tak lupa di depan pintu ada tentara bersenjata. Wow... seberapa jahatkah aparat pendidikan sehingga “gudang soal” ini harus di jaga ketat seperti ini?

Suasana hening di sekolah menambah angkernya UN. Sekolah yang menyelenggarakan UN bagai kuburan. Di beberapa tempat tertulis, “Harap Tenang. Sedang ada Ujian.” Tak hanya itu, mobil polisi berseliweran dari sekolah ke sekolah. Sebagian masuk ke sekolah: Mengamankan UN. Mengantisipasi ada kecurangan siswa. Atau jangan-jangan ada guru atau tim guru sedang melakukan berbagai tindakan kecurangan untuk meluluskan siswa. Wow... polisi mengawasi siswa dan guru. Betapa mengerikannya mental kongkalikong di negeri ini. Bahkan itu terjadi antara guru dan siswa???

Ada lagi sekolah yang overacting. CCTV dipasang untuk mengawasi siswa yang sedang asyik mengerjakan ujian, sementara guru pengawas duduk tenang di meja pengawas. Timbul pertanyaan, kalau sudah ada CCTV untuk apa ada guru pengawas? Mana pelajaran kejujuran dan pembangunan karakter yang telah diperoleh selama 3 tahun mereka sekolah, sehingga sekolah –sebuah lembaga pendidikan- diawasi seperti sarang teroris? Wow.... sebegitu buruknyakah mental guru dan siswa sehingga harus diawasi oleh CCTV?

Setelah menyaksikan berita mengerikan ini, saya ngobrol dengan anak sulung saya yang sudah duduk di bangku SMA. Waktu kelas X, dia pernah sekolah di SMA Negeri RSBI favorit. Katanya, saat ujian kenaikan kelas, gurunya pernah bilang, “Silakan saling nyontek, asal saya gak tau. Asal gak sampai berisik. Asal gak kedengeran sama guru lain di kelas sebelah.” Lalu gurunya sibuk baca koran, atau kegiatan yang lain seakan dia pura-pura tidak tahu ketika siswanya saling bertukar jawaban.

Tapi untuk UN, guru pengawas kan berasal dari sekolah lain? Benar. Untuk menghindari kongkalikong antara guru dan siswa, pengawasan dilakukan secara bersilang. Guru dari sekolah A menjadi pengawas di sekolah B. Guru di sekolah B menjadi pengawas di sekolah C dan seterusnya. Sehingga tidak ada guru yang mengawasi siswanya sendiri. Tapi apakah benar ini berhasil menghilangkan kongkalikong antara guru pengawas dan siswa yang diawasi?

Seorang kepala sekolah sebuah SMP swasta favorit, pernah berkata kepada saya. Bahwa sebelum UN diselenggarakan, para kepala sekolah mengadakan pertemuan. Saat itulah disepakati bagaimana seorang guru pengawas harus berakting di kelas yang diawasi. Guru agar tidak terlalu ketat dalam mengawasi peserta ujian. Bahkan pura-pura tak tau ketika ada siswa yang saling contek dan seterusnya.

“Dalam pertemuan saya ditegur, karena tahun-tahun sebelumnya guru-guru dari sekolah saya terlalu kaku dan ketat kalau jadi pengawas!” Pertemuan kepala sekolah meminta janganlah terlalu ketat mengawasi siswa. “Sebaliknya guru pengawas yang bertugas di sekolah saya, malah saya minta agar ketat mengawasi siswa-siswa saya.” Katanya.

Kenapa demikian buruk mental guru sebagai pengawas? Karena sekolah memiliki target meluluskan siswanya 100%. Yang selanjutnya ini menentukan nama baik sekolah. Dan ternyata ini juga menjadi target dinas pendidikan di setiap Kabupaten atau Kota, karena ini menyangkut nama baik Kepala Daerah. Rupanya virus mental menerobos jalan pintas mewabah dimana-mana.

Apa yang salah dengan target? Tentutidak ada yang salah. Yang salah adalah cara mencapainya. Seharusnya target yang telah dipasang ditindaklanjuti dengan langkah-langkah cerdas, kreatif dan terhormat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas siswa dan gurunya. Bukan dengan cara pintas yang cenderung melawan hukum, norma dan etika yang justru seharusnya ditanamkan oleh sebuah lembaga pendidikan kepada siswa-siswinya.

Maka tak aneh jika kini kita menyaksikan UN berkembang menjadi momok teroris, yang menteror mental siswa, meneror kapabilitas dan kompetensi guru. Dan lebih penting lagi: meneror kredibilitas dinas pendidikan kabupaten/kota dan akhirnya menteror nama baik pemerintah daerah. Semua pihak diteror oleh UN. Karena UN tak hanya untuk standarisasi mutu peserta didik di seluruh Indonesia. Tapi UN telah berkembang menjadi alat evaluasi keberhasilan guru dalam mendidik siswa-siswanya. Juga lembaga-lembaga pemerintah.

Jadi, wajar saja jika suasana penjagaan UN menjadi seperti penjagaan negara dari terorisme.

Cikarang Baru, 17 April 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun