Seorang Arab Baduwi ditanya, "Apakah bukti tentang adanya Allah Azza wa Jalla?" Dia menjawab, "Subhnallah (Maha Suci Allah)! Sesungguhnya kotoran onta menunjukkan adanya onta, bekas telapak kaki menunjukkan adanya perjalanan! Maka langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang memiliki ombak-ombak, tidakkah hal itu menunjukkan adanya al-Lathif (Allah Yang Maha Baik) al-Khabr (Maha Mengetahui)." [Lihat Tafsr Ibnu Katsr, surat al-Baqarah, ayat ke-21]
Arab Baduwi adalah sebuah kelompok dari suku bangsa Arab yang nomaden, tinggal di desa-desa atau padang pasir dengan mata pencaharian menggembala kambing atau unta, pada umumnya mereka kurang terdidik sebagaimana terdidiknya suku bangsa Arab di kota-kota. Orang-orang Arab Baduwi ini dipandang rendah oleh kabilah-kabilah Arab terkenal lainnya, mereka dianggap orang-orang pinggiran, kumpulan orang bodoh, dan terkadang mereka diasosiasikan sebagai para pencuri.Â
Namun, diantara banyaknya stigma negatif yang disematkan kepada mereka, ternyata mereka lebih cerdas daripada orang-orang Ateis. Orang-orang ateis berteori muluk-muluk sehingga sampai kesimpulan bahwa tidak adanya Tuhan. Sedangkan, orang-orang Baduwi ini dengan analogi sederhana dalam kehidupan sehari-hari, mereka mampu menemukan eksistensi Tuhan. Sungguh sebuah hal yang sangat ironis karena kita ketahui bahwa banyak dari mereka yang ateis ini lulusan S3 dan tidak sedikit yang bergelar Ph.D.
Tuhan sejatinya sangat mudah untuk ditemukan oleh siapa saja yang mencariNya. Kegagalan orang-orang ateis dalam mencari keberadaanNya sejatinya berawal dari kekecewaan mereka terhadap agama yang dianut kedua orang tuanya atau nenek moyangnya yang dianggapnya tidak dapat dicerna dengan akal sehat.Â
Serangkaian ritual yang harus dia lakukan atas nama agama yang ternyata setelah ditelusuri itu berasal tradisi bukan berasal dari firman Tuhan, harus dia lakukan sebagai sebuah seremonial menjadikannya merasa sebagai orang yang bodoh. Seorang ateis tidak lagi mau diatur oleh seperangkat aturan yang konyol dari Tuhan yang dia anggap menyuruhnya melakukan hal-hal yang konyol. Maka dari itu, dia lebih memilih untuk tidak meyakini keberadaan Tuhan sehingga dia menobatkan dirinya bahwa dirinya sendiri adalah Tuhan sejatinya bagi dirinya.
Seseorang menjadi ateis karena kekecewaan terhadap ajaran agama yang ada yang telah dicampuri di dalamnya dengan banyak perubahan yang tidak sejalan dengan akal sehat manusia. Betapa malangnya mereka karena mereka menyerah begitu saja sebelum mencari kebenaran lebih dalam lagi. Mereka terburu-buru menarik kesimpulan bahwa tidak ada lagi Tuhan dalam keyakinan mereka akibat rasa kecewa mereka.
Mereka sangat malang karena mereka gagal memahami sebuah konsep sederhana yang mampu dipahami oleh seorang Arab Baduwi yakni jika ada sesuatu maka pasti ada asal muasalnya. Alam raya semesta yang begitu menakjubkan dengan kompleksitas yang sangat tinggi baik dari struktur makroskopik maupun mikroskopiknya ini oleh mereka yang ateis dianggap sebagai sebuah kebetulan saja. Yang benar saja?! I am really feel sorry for them about that!
Percuma saja jika Anda sekalian sekolah tinggi-tinggi sampai setinggi langit tapi tidak mampu menemukan Tuhan. Cara berpikir Anda masih kalah dengan orang Arab Baduwi yang tinggal di padang pasir, hidup berpindah-pindah, kesana kemari tanpa alas kaki, terkadang pakaian mereka compang-camping, rambut mereka kusut masai, tidak mengecap pendidikan formal, tetapi hebatnya mereka mampu menemukan Tuhan dari konsep yang sangat sederhana.Â
Dan benar saja, bahwa Tuhan menanamkan pada diri setiap manusia bahwa diriNya itu ada dengan bukti bangsa Aborigin di Australia yang berabad-abad tidak terpapar kebudayaan asing ketika mereka ditanya apakah ada sebuah kekuatan tunggal yang berkuasa atas segala kejadian dan hidup mereka? Mereka menjawab ada, meskipun memang mereka menyebutnya dengan sebutan mereka entah apa sebutannya. Itulah entitas Tuhan yang kita semua bicarakan.Â
Entah itu Dia disebut Tuhan, Allah, Elah, El, Ilah, Sang Hyang, atau apapun sebutanNya, Dialah sang entitas Tunggal nan Abadi (tidak akan pernah berakhir) dan Azali (tidak memiliki permulaan) yang berkuasa atas segala sesuatu. Dan satu-satunya jenis manusia di muka bumi ini yang tidak mampu menemukanNya hanyalah mereka para ateis yang sebenarnya di dalam diri mereka ada gejolak untuk mengakuiNya, namun mereka berkelit by choice untuk tidak meyakini adanya Dia. Sekali lagi saya tegaskan by choice!Betapa malangnya mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H