Mohon tunggu...
Anggasta Kusuma Wardana
Anggasta Kusuma Wardana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Representasi Islam dalam Film 212 The Power Of Love

6 Januari 2022   12:56 Diperbarui: 6 Januari 2022   13:14 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu-isu radikalisme terus menjadi pembicaraan belakangan ini.penayangan Film 212 The Power  Of Love ini sempat mendampatkan penolakan karena dianggap mengandung unsur radikal. Film ini terinspirasi dari aksi bela Islam 212 yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 2016. Tidak asing lagi bahwa 212 ciri khusus gerakan yang membela agama Islam karena telah dinistakan oleh Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada saat itu. Film ini diperankan oleh Fauzi Baadila, Adhin Abdul Hakim, Hamas Syahid, Asma Nadia, Meyda Sefira, Cholidi Asadil Alam, Erick Yusuf. 

Film bisa dikatakan sebagai cerminan yang ada di masyarakat. Mitha Okthopiana dalam artikel berjudul Representasi Islam Moderat dalam Film Bulan Terbelah di Langit Amerika yang dimuat dalam Jurnal JOM FISIP No. 1 Vo. 5 Tahun 2018 menyebutkan bahwa film bisa dikatakan budaya popular dan dapat mencerminkan dan merepresentasikan apa yang sedang terjadi di masyarakat. Film itu sendiri tidak sering cerminan dari realitas yang ada pada masanya atau sebaliknya yaitu bertentangan.

Mari kita bahas bagaimana Film 212 The Power Of Love merepresentasikan Islam dengan visualisasi karakter Muslim didalamnya. Film 212 The Power Of Love adalah sebuah kisah seorang jurnalis majalah Republik yaitu Rahmat. Ia memiliki kepribadian sinis sehingga tidak memiliki banyak teman. Satu-satunya teman Rahmat adalah Adhin, sebagai fotografer di majalah yang sama seperti Rahmat. Rahmat mendapat kabar duka bahwa ibunya meninggal dunia. Maka ia kembali ke Ciamis untuk menghadiri pemakaman ibunya. Dia kembali setelah tidak bisa pulang selama 10 tahun karena masalah yang cukup banyak di masa lalu. Dia juga tidak akur dengan ayahnya.

Di Ciamis, dia bertemu lagi dengan teman masa kecilnya, yaitu yasna. Rahmat memiliki perasaan khusus untuk Yasna, dan dia merahasiakannya. Rahmat akan kembali ke Jakarta setelah pemakaman ibunya. Namun hal itu tidak terjadi ketika ia mendengar kabar bahwa ayahnya, Ki Zainal. Yang akan melakukan aksi jalan kaki bersama santri dari Ciamis ke Jakarta. Langkah itu diambil menyusul aksi 212 pada 2 Desember 2016. Dia mencoba untuk melarang ayahnya, tetapi Ki Zainal menolak.

Menurut Ki Zainal, Rahmat hanyalah seorang pengecut yang lari dari tanggung jawab. Hubungan Rahmat dengan ayahnya tidak juga membaik. Namun, Rahmat sayang kepada ayahnya dan mencoba mencegahnya pergi dari ciamis ke Jakarta dengan jalan kaki.  Dalam beberapa adegan digambarkan representasi Islamphobia sepeti ketika Rahmat membujuk ayahnya agar tidak terlibat dalam aksi tersebut, Rahmat takut jika ada kerusuhan, dan menuding bahwa aksi bela Islam adalah aksi barbar, suka mengakfir-kafirkan orang dan Selain itu, Rahmat menyebut bahwa aksi 212 adalah aksi Islam radikal. Terlihat Rahmat melakukan tuduhan terhadap aksi bela Islam 212. Rahmat mencerminkan orang yang phobia terhadap islam.

Tetapi dalam film ini Islam digambarkan sangat menjaga toleransi, terlihat ketika umat Nasrani sedang melaksanakan ibadah pernikahan di sekitar aksi bela Islam 212. Para peserta mencerminkan identitas umat Islam dengan memakai peci dan baju koko serba putih melakukan penjagaan dengan membuat pagar untuk jalan dan penghormatan terhadap umat Nasrani yang sedang melaksanakan ibadah pernikahan di sekitar aksi bela islam 212. Islam di gambarkan mayoritas tetapi bisa melindungi dan berdampingan dengan agama yang lain.

Film mampu membuat citra identitas muslim menjadi positif, bisa juga menjadi negatif, tergantung kepentingan . Sebagaimana yang dikemukakan oleh Triyono Lukmantoro dalam artikelnya yang berjudul Teori –teori Film: Sekadar Pengantar yang dimuat dalam buku Menikmati Budaya Layar, Membaca Film (2016), film tidak lagi bersifat sakral, tetapi direbutkan sebagai representasi yang menghadirkan berbagai kepentingan.

Terdapat potongan percakapan “Islam itu peace and love, Rahmatan lil’alamin” dimaknai dengan bahwa Islam itu tidak hanya indah, akan tetapi juga damai dan penuh cinta, dan rahmatan lil’alamin, memperlihatkan bahwa Islam agama pembawa rahmat dan kesejahteraan untuk seluruh alam. Hal ini, menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang damai.

Film-film Religi  diproduksi mungkin upaya untuk menggambarkan identitas Islam. Representasi Islam dalam film ini akan membuat non-Muslim membentuk gagasan terhadap Islam. Bahwa Islam adalah agama yang damai. Pembuat film sangat bagus dalam menginterprestasikan Islam sesuai Islam dan segala dimensinya.

Anggasta Kusuma Wardana

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun