Teman saya (sebut saja Bang Sal) sering sekali mengeluhkan perlakuan dan sifat Ibu mertuanya yang sangat dominan. Memang tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa Ibu mertuanya dulu adalah pejabat tinggi di salah satu lembaga di pemerintah Indonesia, pensiun dengan jabatan yang amat jarang (pada saat itu) dipegang oleh gender perempuan di lembaga pemerintah tersebut. Pada awal-awal pernikahan Bang Sal tinggal di rumah mertua indah, bersama-sama dengan kakak istri-nya yang belum menikah. Pada saat anak pertama Bang Sal lahir, setelah persalinan dan proses pemulihan, Bang Sal memutuskan untuk langsung boyongan pindah dan tinggal di salah satu rumah milik mertua nya yang terletak di luar kota, dengan pertimbangan untuk mendapatkan udara yang baik bagi anak nya juga supaya lebih mandiri menjalankan kehidupan berumah tangga dengan istri dan anaknya tercinta. Denyut nadi dan keinginan untuk menjalankan kehidupan berumahtangga yang "asli" (semua-semua diurus sendiri) pada awalnya sangat meningkatkan gairah hidup - terutama melihat dan membantu istrinya mengurus anak mereka. Mengganti popok, memandikan, membelikan baju, mengajak jalan-jalan, menentukan makan apa hari ini, pagi sarapan apa, siang makan apa, malam makan dimana dan lain sebagainya. Namun, kebahagiaan mengurus "keluarga" kecilnya bersama-sama dengan sang istri hanyalah sebentar saja. Di mulai dengan sang Ibu mertua mengirimkan bahan-bahan pokok kebutuhan rumah tangga, sehingga rutin pada setiap minggu sang Ibu mertua "memenuhi" kulkas berukuran raksasa di rumah itu dengan segala macam penganan dan makanan. Lalu dimulai dengan "mengultimatum" keluarga kecil Bang Sal itu untuk mengikuti segala apa yang diminta dan diperintahkan oleh sang Ibu mertua (Oya, istri Bang Sal ini adalah type anak yang mengabdi kepada orangtua, "lihat segi positifnya saja kalau Mama ngasih atau nyuruh-nyuruh sesuatu ya Bang", begitu selalu sang Istri mencoba menenangkan Bang Sal), termasuk dengan memerintahkan (bahkan memarahi) Staff ahli rumah tangga yang Bang Sal dan istrinya kerjakan guna membantu urusan rumah tangga mereka berdua. Barang-barang di seluruh bagian rumah tidak diperbolehkan "pindah tempat" kecuali atas perintah sang Ibu Mertua, begitu juga dengan tanaman, jika sang Ibu Mertua menginap, maka jangan harap Bang Sal bisa menentukan acara week-end (sabtu dan minggu) hanya dengan sang istri dan anaknya saja, semua sudah ter-program oleh sang Ibu Mertua, hari ini, jam sekian, pergi ke situ, jam segini makan siang disana, makan dengan menu ini, sampai dengan memakai kendaraan pun harus berdasar berkenannya sang Ibu Mertua ("jangan pakai mobil itu, yang ini saja .." dengan bla bla penjelasan yang menurut Bang Sal tidak masuk diakal). Bang Sal yang sudah terbiasa hidup demokrasi dengan kedua orangtuanya dulu, yang semua diambil berdasarkan kompromi bersama, menjadi terkekang dan merasa terbebani dengan segala perintah-perintah yang diperintahkan oleh sang Ibu Mertua. Bang Sal juga sudah dibiasakan hidup dan mengambil keputusan berdasarkan keinginan pribadi dan kemampuan, jika apa yang sudah diambil jalan atau keputusan ternyata diakhir nya mengalami hal yang diluar perkiraan, itu namanya resiko hidup, resiko atas keputusan yang diambil, walaupun dengan mengambil keputusan tersebut, sudah diperkirakan dan dijaga dari segala hal yang terburuk, namun hasilnya tidak sesuai target, itu adalah resiko (risk management lah). Namun, bagi sang Ibu Mertua, jika sesuatu buruk terjadi - itu hukumnya haram. Maka sang Ibu Mertua lah yang "menentukan segala", beliau tidak mempertimbangkan "perasaan" anak atau menantu yang diperintah, tidak demokratis, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa hanya beliau lah yang bisa menentukan baik buruknya hasil di depan. Dan dengan bangganya beliau akan berkata "Tuh kan, apa Mama bilang, semua kalo Mama yang atur pasti ok deh" ... dan kalimat itu di telinga Bang Sal seperti bara api yang membolongi otak, hati, sampai jantung. [caption id="attachment_139695" align="alignleft" width="671" caption="koleksi pribadi"][/caption] Namun, jika apa yang menjadi titahnya berujung salah, oooo jangan khawatir, sang Ibu Mertua akan menyalahkan apapun yang bisa dianggap tidak sesuai dengan apa yang dititahkan, bahkan kejadian diluar kemampuan manusia pun (force majeure) bisa dijadikan alasan mengapa sampai tidak mencapai target (contoh: jika hendak pergi dengan satu kendaraan, beliau yang menentukan jalan mana saja yang akan dilalui, belok mana, posisi kendaraan harus di kanan atau di kiri. Namun jika ternyata jalan yang ditentukan tersebut macet, maka dengan entengnya beliau berkata "biasanya nggak begini nih" padahal sebelum mulai berjalan semua anggota keluarga sudah mengingatkan kalau jalanan itu akan macet). Coba bayangkan, dongkol, jengkel, jadi satu ... tapi yang bisa menghibur diri Bang Sal hanya dengan berpikir "alangkah menderitanya si sopir Ibu Mertua yang setiap hari wajib mengantar beliau, ... dibanding saya yang hanya bertemu di akhir pekan saja..." hehehe .... bener juga kan? Pantas saja (kata Bang Sal) si Pak Kos semakin kemari semakin kuyu dan terlihat manyuuunnnn .. :). (bagaimana dengan Bapak mertua? Bagaimana juga kelanjutannya?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H