Mohon tunggu...
Maman Suherman
Maman Suherman Mohon Tunggu... lainnya -

jurnalis yang penulis, penulis yang jurnalis & berkeliaran pakai @maman1965

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Setelah Ini, Siapa Lagi yang Akan Mogok?

28 November 2013   08:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:35 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERNAHKAH membayangkan, seluruh karyawan KPK mogok, karena apa pun yang mereka lakukan untuk memberantas korupsi dan mencokok para pemakan uang rakyat, tidak pernah lepas dari protes hingga makian dari keluarga, pengacara hingga orang-orang yang separtai dengan koruptor yang ditangkap, bahkan yang ditangkap tangan sekali pun? Belum lagi ''bayang-bayang'' ancaman dipidanakan balik oleh orang-orang yang ''merasa'' diperlakukan tidak adil, baik semasa masih menjabat, apalagi kelak setelah tidak menjadi komisioner KPK? Juga, termasuk ancaman-ancaman terhadap jiwa diri dan keluarga mereka?

Oh iya, ketika mereka meminta tambahan penyidik dan penambahan fasilitas kantor karena kebutuhan yang makin mendesak, kita ribut setengah mati mempertanyakan dan menentangnya, tetapi di sisi lain kita meminta mereka untuk segera menuntaskan semua kasus korupsi yang ada di negeri ini? Bayangkan,  setiap hari ada 30-40 aduan tentang korupsi dan koruptor di negeri ini yang masuk ke KPK?

Pernahkah membayangkan seluruh hakim mogok dan tidak mau mengadili, karena takut keputusannya tidak pernah dipercaya bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat? Tidak ada keputusan yang tidak diprotes oleh orang-orang yang berperkara, bahkan masyarakat bisa dengan sinis mengatakan KUHP itu Kasih Uang Habis Perkara?

Pernahkah membayangkan, seluruh sipir mogok, tidak mau menjaga Lembaga Pemasyarakatan, karena merasa tanggungjawab mereka sangat besar, tetapi kesejahteraan mereka kurang diperhatikan? ''Berkolaborasi'' jahat dengan napi, dengan menyewakan telepon genggam, lengkap dengan chargernya, kepada napi, demi menambah penghasilan, langsung dibekuk, dan semua jasa baiknya sepanjang pengabdiannya terhapus begitu saja. Sementara ketika berlaku jujur, tak ada yang peduli, malah terancam nyawanya oleh narapidana yang merasa sang sipir tidak bisa diajak kongkalikong dan bisa membahayakan ''bisnisnya'' di dalam bui?

Pernahkah membayangkan seluruh petani mogok karena sudah memberi beras, memenuhi kebutuhan pangan kepada seluruh warga negeri ini, tetapi hidup mereka tetap menderita? Mencari pupuk pun tak murah, mencari bibit pun tak gampang, menjual hasil panen pun di bawah tekanan tengkulak atau bukan petani tetapi pemilik lahan, sehingga ''petani asli'' hanya hidup dari ''honor'' yang diberikan Tuan Tanah? Dan makin menyedihkan, karena kelaparan melanda, lalu mengambil dua-tiga butir buah yang jatuh di ladang tetangga, langsung dicokok oleh aparat dan dijebloskan ke penjara?

Dan, pernah pulakah membayangkan, seluruh polisi lalu lintas mogok, karena kalau jalanan lancar dan tidak macet, mereka tak mendapat pujian, dan dinilai memang sudah semestinya demikian. Tetapi, ketika macet sedikit, polisi menjadi sasaran makian, dan hinaan, ''Kemana polisi! Bisanya cuma prit jigo dan 'salam tempel' saja?

Pernahkah memimpikan semua guru di negeri ini mogok mengajar karena merasa kesejahteraannya belum diperhatikan sepenuhnya dan hanya dicekoki kebanggaan sebagai ''pahlawan tanpa tanda jasa?'' Mereka melihat anak-anak muridnya telah sukses hingga menjadi pengusaha multimiliuner dan presiden, sementara mereka sendiri tak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat perguruan tinggi karena ketiadaan biaya?

Hingga akhirnya, pernahkah membayangkan seluruh warga negara Indonesia mogok bersama karena (merasa) keadilan belum sepenuhnya ditegakkan di negeri ini? Hukum masih saja belum diterapkan secara adil, dan masih berpihak. Dewi Keadilan terbuka matanya karena kupingnya ngiler mendengar gemerincing koin-koin emas? Equal before the law hanya sebatas wacana, dan kalimat indah di atas kertas? Teks Pancasila hanya segenggam kalimat-kalimat sakti yang terdengar indah saat dibacakan di setiap upacara Senin di sekolahan, tetapi perwujudannya masih belum paripurna?

Oh iya, pernahkah membayangkan seluruh wasit sepakbola mogok, karena kalau pertandingan berlangsung mulus, ''sesuai kehendak penonton'', yang mendapat pujian hanya pemainnya? Yang bergaji dan ditransfer dengan nilai besar hanyalah pemain, sementara mereka tidak? Padahal, kalau mau jujur, orang yang terus berlari sepanjang pertandingan bola itu adalah wasit. Kiper dan bek, bisa santai sejenak ketika bola berada di daerah lawan, demikian sebaliknya dengan penyerang. Tapi, wasit terus berlari mengikuti arah bola dan kerumunan pemain. Kalau pun mereka ''diapresiasi'', paling sebatas teriakan menggema di stadion: ''Wasit goblok! Wasit goblok! Wasit goblok!''

Ah..., di semua lini kehidupan, banyak orang baik. Banyak orang jujur. Banyak orang yang menjalankan tanggungjawabnya dengan sangat tinggi. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Tetapi memang, ''tanggungjawab'' itu adalah ''jalan sunyi'' yang dipilih oleh orang-orang yang menghindari panggung, sorot lampu dan tepuk tangan penonton.

Kisah kebaikan orang-orang jujur, bekerja penuh tanggungjawab, kerap baru muncul ke permukaan, hanya ketika orang-orang lain sedang ribut berbicara tentang ketidakadilan dan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan. Mereka dijadikan contoh, diagung-agungkan, tetapi untuk kepentingan orang lain. Setelah itu, mereka kembali bekerja dalam sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun