Mohon tunggu...
Tobroni
Tobroni Mohon Tunggu... Pustakawan - anak muda yang mencari rezeki

lahir di jakarta dan 12 tahun merantau

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Intervensi Jadi Momok Untuk Para Korban

18 Desember 2024   19:29 Diperbarui: 18 Desember 2024   19:29 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata kita sering dibingungkan dengan ungkapan serta tindakan para tokoh agama dan penegak hukum. Pasalnya kejadian yang terekam oleh media sosial atau penyelidikan membuat viewer tercengang dan geram. Dikutip dari postingan Instagram narasinewsroom, salah satunya kejadian penembakan oleh oknum polisi pada 24 November 2024 yang menewaskan satu siswa Smk di Semarang. Awalnya kronologi yang diungkapkan oleh pihak penegak hukum, penembakan dilakukan untuk melerai tawuran antar gangster, disebabkan adanya penyerangan terhadap aparat. Namun setelah dilakukan pra-rekontruksi akhirnya pernyataan itu berubah. Tembakan yang dilepaskan bukan untuk melerai tawuran, tetapi kesal karena merasa dipepet pengendara hingga melepaskan tembakan. Inkonsistensi ini, ternyata menunjukan bahwa pembelaan terhadap instansi masih menjadi momok yang menakutkan bagi para masyarakat yang menjadi korban.

Lebih lagi untuk menutup kasus agar tidak mencemari nama instansi, ada intervensi yang dilakukan. Kerabat keluarga korban diminta untuk membuat video klarifikasi yang di dalamnya berisi tentang kasus yang dianggap telah selesai. Permintaan ini semakin menunjukan bahwa ketakutan stigma negatif akan bertambah dengan timbulnya kasus seperti ini.

Disamping itu, beredar juga video tokoh agama yang mencoba bercanda bersama para jamaah pengajian dengan melontarkan narasi "goblok". Kita semua merasakan apa yang dirasakan oleh bapak penjual es teh. Nyatanya pak Sunhaji sang penjual es teh, menyatakan sakit dengan olok-olok yang dilontarkan oleh Gus-M. Pak Sunhaji menyatakan: "saya disana belum dapat rezeki malah ada suara kayak gitu di telinga" dilansir dari reels Instagram inilah.com. Terlihat juga dalam potongan video yang viral di media sosial bagaimana pak Sunhaji menahan amarah serta rasa kecewa, ketika Gus-M menunjuk sambil mengolok dirinya.

Setelah viralnya vidio olok-olok itu, petisi dibuat agar Gus-M dicopot dari utusan khusus bidang kerukunan beragama dan pembinaan sarana keagamaan. Alhasil, beliau menggundurkan diri lewat jumpa persnya. Selain itu, dirinya juga memberikan hadiah umroh sebagai permintaan maaf.  Sangat disayangkan dua contoh tadi menggambarkan prilaku berkelit dahulu serta meminta maaf sebagai simbol formalitas, ini terjadi di negara kita pada skala instansi pemerintah dan tokoh agama sekalipun. 

Berkelit Dahulu, Baru Mengaku Kemudian

Kebiasaan tak mengaku dengan memutar balikan fakta, kiranya sudah menjadi hal lumrah bagi sebagian oknum pemerintah Indonesia. Tidak mau mendapat resiko dari hasil perbuatannya tersebut, didasari oleh rasa malu akan tercorengnya institusi yang berhubungan dengan dirinya. Berbagai upaya dilakukan untuk menutup-nutupi kesalahan yang sudah jelas terlihat. Sampai-sampai mengintervensi korban menjadi solusi mutahir.

Anehnya, jika intervensi yang dilakukan itu ketahuan, mereka terkadang coba mengelak dengan memberikan tanggapan yang sekiranya mengambang atau bisa dibilang multi tafsir. Hingga kita sebagai penonton kebingungan antara jawaban mana yang benar atau salah. Terlebih lagi, simpang siurnya kebenaran malah membuat rakyat miss presepsi. Untungnya hal baik selalu menyertai kita sebagai warga sipil, dengan dikarunia nalar serta informasi yang bisa dibandingkan keabsahan dan kredibilitas sumbernya.

Patutnya kita berterima kasih kepada para wartawan dan media yang sangat membantu dalam pencarian sumber kebenaran tersebut. Pasalnya kita tidak dapat mengetahui intervensi yang dilakukan seperti apa dan bagaimana bentuknya, jika informasi itu tidak sampai ke telinga kita nantinya hal-hal yang mereka anggap lumrah akan terus berlangsung secara masif, bisa jadi sebuah normalisasi bagi mereka. Dan jangan sampai ketidaktahuan dijadikan alat pembelaan.

Haruskah Intimidasi Mewarnai Permintaan Maaf?

Seorang yang dijadikan tokoh agama oleh masyarakat secara umum, karena adanya kebutuhan dalam pengajaran atau persoalan agama yang tidak dapat diambil alih masyarakat. Adanya hubungan timbal balik serta tak saling merugikan adalah sebuah bentuk relasi antara masyarakat dan tokoh agama. Bentuk hubungan itu biasa disebut dengan patron-klien yang dijelaskan oleh Fahruddin Faiz dalam Nalar Keislaman dan Keilmuan (2024). Pada hubungan patron-klien, terdapat timbal balik bukan didasari formalitas dan paksaan.

Namun saya melihat permintaan maaf yang dilakukan oleh Gus-M kepada pak Sunhaji hanya sekedar formalitas. Terlihat dari vidio ketika dirinya meminta maaf tetapi rangkulan seakan mengintimidasi secara non verbal. Saya berasumsi bahwa Body language itu pertanda memaksa pak Sunhaji untuk setuju akan candaan yang dilontarkan. Indikasi selanjutnya yang bisa saya temukan ungkapan Gus-M yang seakan menormalisasi olokan dengan berkata "guyonan itu disalah presepsikan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun