Semangat pagi yang sedikit ternodai kgelisahan dan kebinggungan untuk tidak hadir mengamati burung-burung air di Rawa jombor. Aku sudah tepat jam 7 pagi menanti seorang menepuk punggung hijau ku. Tak jua dating hanya segerombol anak muda pergi. Sepertinya mereka.
Mencari di jalan tak tertemukan. Geram rasanya. Aku marah dengan kalian. Semangat pagi ku kau enyahkan dengan semua itu.
Wajar manusia marah. Rasa membrontak dan ingin menonjok muka mu. Habiskan nafsu ku dengan pasang wajah jaringan parut yang kau benci. Kesal. Kau ambil senyum ku hari ini. Kau jahat manusia. MARAH. Menjadi lusuh dan emosional tak terkendali. Ingin ku tancapkan kecepatan 140 agar angin dingin lampiaskan tubuh ku.
Aku tak tamparkan dengan kata-kata tajam dan kasarku. Dada ku semakin membusung . udara menciut tak mau keluar dari tubuh. Darah semakin hangat. Dan hangat kemudian panas matahari terus membakar. Kau lucuti sifat kewanitaan ku. Kau buka aura testosteron ku. Puas kau.
Boleh kah aku marah? Tapi ada yang berkata ‘jangan kau marah sampai matahari terbenam’. Marah terlama. Bukan kata-kata mu pudarkan jahitan senyum ku. Bangsat kau. Tak akan keluar dari bibir tebal ku. Hanya diam dan hening ku.
Aku mengerti. Marah. Lanjutkan saja marah. Menurut ku marah adalah kesempatan emosional mengendalikan hangatnya darah. Seni terkejam dan akan baik jika tercuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H