Mohon tunggu...
Ika Maria- (Pariyem)
Ika Maria- (Pariyem) Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Melesat dari kenyamanan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kita Berjalan

19 Januari 2010   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cukup belia di usia mendekati gadis pembisu yang segera duduk di bangku terdepan SMP kelas 2. Berdiam kata pada nyanyian kalimat yang terbang di telinga dalamnya. Kau tahu namanya? ...dia sungguh anggun, seperti wanita suci. Berpusat satu arah agar deretan huruf yang sempat terlintas di dengarnya tadi tersimpan sebagai info pertama. Selama lebih setahun belum terlontarkan bebas satu butir suara. Sekedar basa-basi ataupun sapaan pagi yang menyegarkan hati masih tertutup rapat.

Seorang pemalu dan begitu halus tutur bicara saat menjawab serta diskusi pendek bersama teman sepermainan ketika SD dulu. Kepingan kenangan masa lalu tersingkap sekilas. Sambil menyusuri aspal panas, aku terkagum pada dirinya. Mungkin kah kelak dapat memenangkan dia. Gadis pembisu tak banyak berkomentar ejekan penunggu bangku dari posisi terdepan hingga terbelakang. Hanya ucapan penuh kesia-sian saja percuma.

Namun, dibalik hampa udara di kotak muda itu, terselip jiwa peduli pada dia. Aku suka dia. Setiap kali bel berbunyi berdering kencang pertanda pulang. Doa rutin supaya dia mengerti keheningan ku selama ini. Kemudian seraya membalikkan setengah badan bagian depan45 derajat. Rajut muka cuek tapi dewa cinta yang memimpin. Ku simpan senyum mu hari ini (teriak keras dalam palung hati gadis). Sampai waktu berpihak untuk memisahkan kedua remaja yang sedang belajar saling berbicara.

Hai, lihat dia sedang memandang lugunya dirimu dibanding perempuan di ruang terbuka ini. Perkataan salah satu seorang putri yang akrab di harinya. Hem,,,,,,(tergantung dagu yang sebentar lagi runtuh). Ekspresi singkat gadis pengagum. Tet.....tet.........tet......(tiga kali berbunyi). Beri salam pada bapak guru. Selamat siang pak guru serentak remaja bau kencur berlomba beri salam. Zlap..............kilatan gadis terdepan memalingkan bagian ujung rambut hingga pusat putaran tubuh. Sembari bergumam, semoga dia mengerti isi hatiku sampaikan padanya Tuhan.

Rona jutek terhampar luas di titik pori-pori gadis pendoa ini. Matahari menampakkan nyata nya, seiringgadis mungil ini berjalan separo pelan tapi menikmati sekelilingnya. Tak jauh dari kedudukan anak yang menginjak dewasa, seorang bertubuh tegap sedikit lembut serta sendirian menapaki jejak langkah sang putri. Mencuri pandangan ke belakang mungkin akan peroleh teman berjalan. Ups.......berubah merah merona. Mengapa dia disana??binggung nya. Percepat angkatan kaki berayun agar tak bersama lelaki gelap itu.

Hei, jangan usil kau. Bentak agak menarik perhatian anak-anak di kelas. Jawab seorang putra yang menggoda tadi, cie Doni melindungi Isa ni..(hehe cekikikan). Herr,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,ghghhghgh, pekikan anak-anak. Gadis pendiam itu mulai takut akan terbongkar kisahnya. Tet....tet.........(ini kah jawaban) kembali tradisi singkatnya. Selalu beriringan satu dua di perjalanan lelah dan panas. Tibalah pemisah nyata dan sendiri sungguh.

Tahun keempat terpendamnya cerita itu. Banyak meluangkan kesempatan bersahut kata peduli satu sama lain. Menjadi padu dan tetap jauh berada. Kau milik ku dan ku miliki mu saat ini. Dunia akan terpenuhi jejakkaki kita. Setahun hanya dua jam saja mewakili rindu berat kita. Tanpa restu ayah-ibu, bukan kah dulu ketika muda mereka juga merasakan sama kenapa melarang. Tahun kedua beranjak kusut dan diujung kehilangan. Kebersamaan berdua berjalan selangkah justru memicu runtuhan air asin. Kita berjalan menyimpan asa itu bersama setelah benar-benar bersama tiap hari perpisahan menjadi pilihan utama. Kau memilih hilangkan kebiasaan mu atau tetap?? Tanya gadis. Aku tak bisa bila sehari saja tidak berjumpa dengan pelangi di bola matamu. Tepis lelaki dengan sikap tak rela. Berakhir saja jika itu mau mu. Nego pelan pada sang kekasih. Terjadilah dan usai kita berjalan.

Pikir ulang gadis pembisu sekian bulan sendiri, andai saja aku mau menuruti nasehat ayah ku, cerita cinta pertama ku tidak akan mengisahkan lara mendalam. Terima kasih ayah kau sudah menyadarkan ku meskipun aku terlambat menyadari semuanya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun