Mohon tunggu...
Ika Maria- (Pariyem)
Ika Maria- (Pariyem) Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Melesat dari kenyamanan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Di Stasiun

10 Desember 2010   09:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:51 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12919718091437188363

[caption id="attachment_79373" align="alignright" width="358" caption="diam (dok.p"][/caption] Berawal dari suatu keberanian yang dimulai di stasiun kereta api Lempuyangan Yogyakarta. Tanpa pemandu sukarelawan atau teman. Ting....tong, pengumuman bahwa kereta api Sri Tanjung akan segera berangkat lima menit lagi menuju Surabaya. Benar, kata teman pendiam saya, Tuhan bersama orang yang berani. Seorang nenek duduk dihadapan saya, bertanya "mau kemana mbak?". "Saya mau ke Surabaya bu" jawab saya sambil garuk-garuk jaket saya karena udara mulai terasa sedikit gerah. "Oh, kok sendirian?" tanya ibu itu lagi seraya menata posisi duduk senyaman mungkin. "Iya bu, mau berkunjung ke tempat teman di Malang, ibu hendak kemana?" berganti saya ajukan pertanyaan. "Saya juga mau ke Surabaya, ya sudah kalau begitu bareng saya saja mbak, duduk disini saja sama saya" saran ibu itu yang akan ke Surabaya pulang ke rumah setelah dari Jogja menjengguk orang tuanya. Dalam batin saya berkata, Tuhan memang selalu dimana-mana dan menjelma dalam wujud siapa saja. Pertolongan Tuhan tidak pernah lekang dari setiap detik nafas sel yang bertahan hidup. Sepanjang perjalanan, melihat stasiun yang sangat rapi dan bersih tertata. Saat berhenti di salah stasiun, saya melihat pak Mul sebut saja itu namanya sedang merenung. Padahal masih pagi sekali sekitar pukul 9 pagi. "Jadi kuli bangunan bisa melihat kereta api lewat di rel kereta api dengan mata tanpa busana tiap hari, tanganku semakin membeku. Keras. Bahkan mungkin sudah over kapalan (jaringan kulit telapak tangan menebal karena bergesekan dengan benda yang kasar, berat). Tapi, tidak apa-apa setidaknya aku bisa menafkahi keluargaku dengan halal dan berkelanjutan" renungan batin pak Mul. Batu-batu yang bertebaran di bagian kanan-kiri rel menyahut renungan pak Mul. "Ada apa pak? Kok melamun masih pagi lho, ayo semangat kerjakan tugasmu. Rel- rel yang tua itu harus kau perbaiki bersama temanmu yang lain, agar keselamatan jiwa penumpang terjamin aman" ujar Batu. "Iya, pak. Ayo perbaiki aku, tubuhku sudah semakin tua dan perlu istirahat dan digantikan dengan besi-besi yang baru" sahut Rel. "Aku cuma merenung kapan ya, aku bisa hidup mewah, makan enak tidur nyaman, dan tempat tinggal standar kelayakan. Anak-anak mampu sekolah setinggi mungkin meraih cita-cita" ujar pak Mul. "Aduh pak, udah terima saja apa yang ada sekarang bapak bisa kerja itu perlu mengucap syukur pak. Bisa makan walau menu keseharian sederhana, tidak usah memandangi para penumpang di dalam kereta yang terlihat kaya atau apalah. Lihat saya, diciptakan Tuhan sebagai apa? Batu di tempa sana-sini. Diinjak,di lempar, dibanting tapi saya tetap kuat dan tidak mengeluh, karena saya bersyukur bisa ada di Bumi ini serta bermanfaat bagi manusia. Bukan kah lebih baik kita memberi dibanding menerima? " saran Batu sambil menerima angin yang berhembus lirih dan segar pagi itu. "Ho, pak bener kata Batu, jangan terlalu memikirkan apa yang kita inginkan tapi pikirkan apa yang sudah kita lakukan sebagai rasa syukur kita. Pandangi saya, besi, walau saya benda tak hidup tapi saya kuat dan punya kebermanfaatan serta nurani. Coba kalau tidak ada saya mana ada kereta api bisa jalan? Ya ora? Sebab saya kuat, saya digunakan sebagai lintasan kereta api. Melalui itu saya bersyukur jika diijinkan Tuhan bisa bicara dan punya alat indera" ucap Rel sambil mempersilahkan kereta api Sri tanjung yang saya naiki melintasi rel kereta api dan meninggalkan mereka. Semua yang termiliki akan terasa cukup jika mensyukurinya. Sambil mengenang pak Mul mendengarkan lantunan lagu Happy Christmas (war is over) by John Lennon yang bersahutan dengan gerimis yang menciumi bunga iris sedang mekar menanti senja muncul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun