Mohon tunggu...
Ika Maria- (Pariyem)
Ika Maria- (Pariyem) Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Melesat dari kenyamanan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Manis, Nduk

1 Maret 2011   07:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:10 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1298965041236592527

[caption id="attachment_92615" align="alignleft" width="300" caption="Seduhan Teh yang berumur  sehari (dok.p)"][/caption] Masih pagi tapi terbilang matahari sudah berada di atas ubun-ubun saya yang berdenyut. Tanpa peran seorang bapak atau ibu yang ikut berpartisipasi penuh dalam rangkaian proses mengisi waktu luang. Sudah sarapan dan siap untuk mengantongi kata-kata ibu guru yang akan diucapkan dengan lemah lembut pada anak-anak didiknya. "Mbah kakiku sakit ini, gimana? Kalau pake kaos kaki sakit e?" kata Katok. Katok, panggilan ejekan oleh saudara-saudara terdekatnya di masa kecil. Karena nama panggilannya sepasang huruf penggalan pertama saat diucapkan. "Ya, sudah ndak usah pakai kaos kaki, kaki sebelah kanan yang tidak sakit harus tetap pakai kaos kaki" ujar si mbah sambil memasang sepatu kepada kaki cucu pertama perempuannya. Kaos kaki merah dan berpadu dengan warna hitam sedikit dibagian atasnya. Katok berjalan perlahan dan kemudian di gendong oleh mbahnya. Singkat cerita saja. Sepulang dari sekolah TK Mardisiwi, Katok ganti baju didampingi mbah. Ayo sini, duduk sama mbah. Di dapur yang berdindingkan anyaman bambu tanpa diberi warna . Warna alami coklat muda. Mungkin ini dapur yang dulu mbah Kakung buat untuk tempat memasak dan bersantai mbah Putri. Tepatnya di pintu masuk dapur, kusen yang terbuat dari kayu . kayu berasal dari batang kelapa tua. Glugu. "Mbah, aku mau minum wedang the mbah" pinta cucunya sambil melingkarkan tangan di bahu mbah putrinya. "Mau? Ya ini tapi ini teh pahit, tidak mbah kasih gula. Biar perutnya hangat dan tidak mudah kembung" jawab mbah sambil meniup-niupkan udara kea rah lubang gelas yang menganga berbentuk lingkaran. "Aku mau nyoba dulu ah mbah" sahut Katok kepada mbahnya yang sudah mulai beruban dan kulit kepalanya sedikit terlihat mengkilat. Pelan-pelan dan terus-menerus teh panas itu menjadi hangat. Sesekali mbah menyeruput pelan dan sepertinya ada kelegaan tersendiri setelah meneguk teh pahit dari gelas yang berbentuk kelopak bunga di bagian dasarnya. "Ini minum pelan-pelan sudah tidak panas lagi kok dan tidak pahit" kata mbah sambil memegangi gelas yang berisi teh pahit tinggal separuh. Seraya memegangi gelas juga, Katok mencuri kenikmatan yang terasa setelah meminumnya beberapa teguk. "Anget dan segar mbah" ucap Katok yang memerhatikan tiupan udara yang di lakukan mbah putrinya. " Dihabiskan ni teh nya biar sehat dan perutnya terasa hangat" saran mbah putri. Kenikmatan merasakan teh pahit yang sesudah beberapa menit tidak terasa pahit malah manis. Suasana yang masih bersih dan sejuk diciptakan oleh rimbunya tanaman kedondong yang batangnya sudah memiliki kira-kira enam lingkaran tahun. Serta melimpahnya zat klorofil yang berdenyut pada daun-daun kopi, mengolah sinar matahari dan tanpa pamrih menyebarkan gas penjaga hidup manusia. Brussssss.... Hujan yang bermula dari gerimis mengguyur mahkota-mahkota bunga Kamboja merah muda dan bunga Iris di depan jendela yang berjarak dua langkah ke depan. Melangkah ke dapur dan mencium aroma teh hijau yang masih terbungkus dalam kantong putih dan plastik pelindung luarnya. Cangkir putih merupakan pilihan hati untuk mempertemukan kepingan daun dan pucuk batang teh muda yang tergulung akibat layu dikeringkan oleh sinar matahari dengan pelarut yang netral. Tanpa memberikan gula sebagai pemanis momen menikmati hujan menjadi gerimis kembali. Berhasil. Sepuluh menit memegangi cangkir putih, merasakan perpindahan energi hasil serapan kalor dari tubuh. Hangat dan aroma harum merayu hormon-hormon tubuh untuk beristirahat barang satu detik saja. Memandang ke luar jendela berkusen jati tua. Kenangan bersama mbah putri belum setua kayu jati yang ada dihadapan mata. Menikmati manisnya teh pahit. Meneguk perlahan sambil menghanguskan kalor dalam cangkir membuangnya keluar cangkir dan membiarkan menyapa gerimis. Teh hijau pahit menyegarkan memori masa kecil terputar pada layar gerimis yang hampir reda. Memang pahit itu sebenarnya manis sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun