Mohon tunggu...
Ika Maria- (Pariyem)
Ika Maria- (Pariyem) Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Melesat dari kenyamanan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sendiri yang Tak Sendiri

14 Mei 2010   11:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:12 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika duduk tanpa ada sandaran kayu ataupun pundak kekar yang melingkar. Cukup kelembutan udara malam menyanggah tubuh untuk memberikan sedikit kehangatan akan keindahan malam. Hanya bicara dalam hati sendiri. “aku bisa sendiri, bisa bernapas malam ini”. Bercengkraman dengan kekalutan malam yang dingin menelisik ke dalam sela-sela rambut di kulitku. Aku mulai kembali teringat akan ibu, selalu ada waktu untukku. Selelah apapun beliau masih menyempatkan sedikit waktu untuk bertanya sudah makan, sudah mandi. Beliau tahu jika ku kebiasaan telat makan dan mandi terlalu malam.

Pagipun tak malu-malu mengajakku terlelap untuk menidurkan tubuh. Pukul tiga masih asyik berdialog dengan udara malam yang menyelinap dalam udara fajar yang akan segera menyingsing. Beberapa jam cukup memejamkan mata yang semakin terlihat gelap dikulit bawah kelopak mata. Dingin dan selalu menyegarkan. Dimana masih banyak manusia tertidur dalam kenyenyakan tidurnya. Melongok jauh disana puncak gunung merapi sudah membuka bajunya dari selimutan kabut putih yang terkadang pekat. Mentari disebelah timur sudah memudarkan kebiruan awan pagi, kekuningan hangat menjamahi setiap mata yang tertuju padanya.

Berdiri sendiri. Dan berkata dalam hati diri sendiri “sungguh beruntungnya diri, sang Pencipta amat baik bahkan teralalu baik”. Nafas yang selalu berjalan, udara yang tak pernah habis. Terkadang diripun terburu lari karena kegiatan yang mengejar, kesempatan menikmati keadaan indahnya pagi dan malam terabaikan. 24 jam, waktu yang cukup banyak untuk menyibukkan diri. Namun, tak ada setengahnya meluangkan waktu berbicara dengan sang Pencipta. Ah.... sungguh aku keterlaluan.

Ketika berencana untuk ke malioboro, sudah lama tak menyapa para penjual-penjual emperan. Kembali, berbicara pada diri sendiri, “bisa membeli kain-kain itu karena ayah selalu mengirimkan uang untuk kebutuhanku”. Bahkan, permintaan untuk tidak langsung pulang ke kampung setelah lulus kuliah nanti, beliaupun mengijinkan. Ah,,, sungguh baik bukan? Jika bukan sang Pencipta yang sudah merancang sejak jabang diri dalam rajutan rahim ibu, aku tak akan mengalami keberuntungan ini.

Tadi siang sepupuku, kembali ke kampung setelah 1 minggu lebih diwisuda. Sebenarnya ia ingin sementara disini dulu namun orang tuanya tidak mengijinkan. Bisa dipikirkan betapa sedihnya kehendak tak dipenuhi. Hidup memiliki tujuan, dan sangat penuh alur rencana yang akan menjadi nyata tanpa kita minta. Esok pagi dapat terbangun dan membuka mata itupun karena kebaikan Sang Pencipta bukan karena kehebatan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun