Ketika seminggu sudah berlalu dan penuh dengan perasan untuk tenaga. Sabtu. Merasakan KKN PPL ini seperti romusha. Menyenangkan diri bersama teman-teman satu kost berlima. Mari pulang ke Jogja, meninggalkan wates beberapa malam. Muka murung terpasang di wajah yang serasa kehilangan cinta. Diam. Jeda.
Sahutan kata-kata yang teman-teman lontarkan diwajahku. Ku lempar jauh-jauh tanpa sekilas ku dengarkan baik-baik. I dont care what’s you speak. I’m so tired. Sepanjang perjalanan ke Jogja, mendiamkan temanku. Hanya sesekali bertanya. Ku pikir mereka mengerti jika aku sedang benar-benar lelah. Flu yang seminggu lebih tidak kunjung hengkang.
Saat minggu pagi datang. Duduk dibarisan tidak terlalu belakang. Seminggu lalu hanya terdiam tanpa kata. Radang tenggorokan yang meradang hebat. Menghilangkan suaraku. Pagi tadi suatu kerinduan datang. Sumringgah. Akhirnya dapat bernyanyi lagi meskipun batuk sesekali menggangu kenikmatanku bernyanyi.
Murung dan diam mulai berangsur hilang. Kegembiraan dan syukur kembali tergenggam. Diamku yang sangat menjadi racun untuk senyumku terusir. Ya, sekuat apapun tubuh dan jiwa jika mengendalikan diri sendiri tidak akan sekuat petir yang menyambar bumi. JEDA. Setinggi apapun profesi diri masih memerlukan Sang Pencipta. Secukup apapun harta yang termiliki masih tetap akan lebih tercukupi oleh kehadiranNYa.
“sedetik yang kau punya penuh syukur akan terhargai dirimu dibanding seribu detik yang penuh kesibukan diri sendiri”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H