[caption id="attachment_113880" align="alignleft" width="300" caption="pergumulan (iko punya photo)"][/caption]
Siang itu bel muncul dan berdering dimana-mana seakan mata tak boleh menutup sejenakpun walaupun hanya beberapa detik saja. Awan yang entah mempunyai rasa lelah atau tidak, aku tak peduli. Badanku terlanjur dialiri darah hangat yang tak mungkin berhenti berputar kecuali waktu dan ajalku datang memanggilku. Renungan santai disore yang tak berujung menemukan jawaban langsung. Prek.....prek...... suara motor dikendarai pemuda desa menderu hingga jantungku bersiaga satu. Diamku masih bergeming lama. Kapankah diri mampu berperang sekali lagi dan menghentikan permainan bodoh ini.
“Lihatlah disana yang kau nantikan tertawa. Namun, sayang sekali bukan dirimu yang membuat dia tertawa. Orang lain yang menjadikannya sadar tertawa. Ia mungkin sedang jatuh cinta dengan perempuan lain yang lebih hebat dari dirimu “(guncingan pendek dengan penghuni roh tubuh).
“Aku merasa nyaman, haruskah aku membuang rasa ini ke bulan. Agar kubangan bulan menampung rasa nyaman ini. Aku pikir kita mulai ada jalan yang terbuka. Jalan kecil yang terbatasi oleh jarak pulau Sumatera dan Jawa. Aku awalnya sedikit ragu akan memulai dan membuka tirai kenyamanan ini. Aku beranggapan keyakinan rasaku akan benar tidak salah lagi. Keyakinan akan buatku berpihak pada apa yang aku butuhkan. Kau mengertikan”. (jawaban roh tubuh kepada roh aneh).
“Sok banget si kamu. Egois. Kau tak mau berdiskusi dengan ku dulu sebelum putuskan bahwa kau akan ijinkan rasa itu menyebar benihnya dihari mu. Apa jadinya kalau sudah begini. Makanya jangan sok jadi manusia. Mentang-mentang dikasih hak untuk memilih tak mau minta pendapat dari yang lain. Apa kamu akan mengulang hal bodoh itu lagi. Menunggu dan nihil tuaiannya. Kasian banget si kamu” (roh aneh memojokkan roh tubuh).
“Kejadian lalu emang udah menyayat epidermis rasa nyamanku dengan para pemberi rasa nyaman itu. Aku masih ragu, Ro. Sepertinya dia ada sedikit rasa geh. Benar si, aku saat ini selalu acuhkan kamu. Aku berjalan dengan kehebatanku. Aku pun lupa bicara empat mata dengan Gustiku. Ini hukuman atas keputusan tergesa-gesaku. Pena yang sudah ku berikan pada Gustiku, ku rebut tanpa seijin Nya. Aku kapok. Status relationship disimpen dulu ya Ro. Jadi abdi Gusti ae. Toh, Gusti mesti wes nyiapke aku dalan ge tak lewati. Oh yo, Ro happy easter yo. Matur nuwun wes gawe aku mbikak motoku lek urip ki butuh hubungan seng intim mbek Gusti. Ben ora salah dalan. Wah ora sio-sio aku nduwe konco koyok awakmu. Aku ternyata kurang peka yo, neng awaku iki enek awakmu”(penyesalan Rotub pada Ro). Rotub yang masih termangu sedikit beranjak mengangkat kedua tangannya dan merentangkan ke udara bebas.
“Makane dadi menungso ora usah kemaki. Lek dibandingke laut kowe ki keton cilik tenan. Diemplok laut wes ora keton maneh. Kowe ki meng koyok pasir neng pinggir pantai cilik-cilik. Nameng Gusti ki tresno tenan karo awakmu. Dadi dikei kebebasan neng donyo. Ojo kelalen karo Gusti, kabeh iku neng tangane Gusti. Yo, kesok-kesok jo lali takon aku juga. Kowe ki butuh gremeng-gremeng mbek awakmu dewe” (Ro, sok nasehatin Rotub).
“Yoi, suwun yak. La terus iki piye. Aku harus mengakhiri menikmati rasa nyaman ku dengan dia. Anggapanku si, aku memang harus putuskan hubungan ini. Sambil melewati waktu yang datang silih berganti dan mendamprat mukaku “(tanggapan Rotub).
“Ya..eyalah. akhiri saja. Tapi, tetep serahken karo Gusti. Gusti mesti nuntun kowe kok” (argumen Ro). Lambung Rotub sudah gemerincing dan berbunyi ala gong dipukul. Senja pun sudah terlelap dan berjalan ke arah belahan bumi yang lain. Hidup masih ada, belum berakhir.
Ngayogyakarta, 8 April 2010. 6 pm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H