Aku hanya berpikir lalu senyum. Ujian sejarah IPA hanya dua pertanyaan yang sebelumnya berisi ringkasan pendek tentang membahas arsitektur candi Prambanan dan Borobudur. Sejarah IPA saat kuliah penuh dengan asal-usul ilmuwan terkemuka. Dan disana kami sebagai calon guru disuruh untuk mencari, memetik dan merenungkan nilai/norma yang terkandung dari salah satu referensi buku asing terbitan Universitas Oxford press untuk bekal menjadi guru kelak.
Dua pertanyaan yang menantang untuk ujian sejarah IPA:
1.Mengapa bangsa Indonesia begitu mudahnya percaya akan hikayat dan macamnya?Apa yang menyebabkannya! Percaya bahwa candi Prambanan merupakan buatan Bandung Bondowoso.
2.Apa ide atau pendapatmu untuk para arkeolog tentang ilmu matematika yang digunakan dalam arsitek pembangunan candi Borobudur?
Inti jawabanku tak bertele-tele. Cukup satu lembar kertas folio saja. Menurutku bangsa ini mudah percaya tentang hikayat dan dll karena, manusia zaman sekarang (bangsa Indonesia) tidak mengalami kehidupan pada masa tahun sebelum masehi. Jadi, apa yang diceritakan turun-temurun itu sudah tradisi dan seperti sekarang. Untuk jawaban nomor dua, inti jawabanku lebih singkat, hanya butuh kesadaran, keberanian, kemauan dan tindakan saja untuk para arkeolog mengungkap kebenaran (padahal suatu kebenaran itu tidak bisa diukur secara kasat mata dan standar tertentu).
Aku terus merenung. Ini dosen beda dari yang lainnya. Aku sempat bergumam, kalau begini bagaimana jika esok, sehari yang akan datang, seminggu, satu bulan, satu tahun, sepuluh tahun dan seratus tahun lagi jika Tuhan mengijinkan masih hidup, ada seorang anak berusia enam tahun bertanya siapa pencipta candi Prambanan/ Borubudur?Apakah harus dijawab dengan kisah yang ku tahu secara tradisi seperti sekarang ini!
Teringat ketika masa kecil, mbak Ana yang selalu mengajakku membuat sesajen (ya semacam sesajen lah ) agar tidak hujan. Hanya satu ikat sapu lidi yang masih bisa didudukkan pada tanah dan bagian ujung-ujunglidi diberi cabe merah, bawang merah, katanya semakin banyak cabe, bawang yang ditancapkan. Maka hujan tidak jadi turun. Aku ikut-ikutan saja, secara umurku masih balita dan duduk di TK nol kecil. Jadi, ketika kami akan bermain-main di halaman rumah si mbah, tapi awan mendung kami cepat-cepat membuat sesajen itu. Apalagi saat musim panen padi, ketika menjemur padi. Aku dan mbak Ana membuat sesajen itu sambil tertawa. Karena hujan pun terkadang turun walau kami sudah membuat sesajen itu.
Saat di acara ngundi banyu bening di bantaran kali gajah wong beberapa bulan lalu. Aku pun masih melihat mirip sesajen yang ku buat saat kecil dulu. Tapi ku pikir-pikir mungkin dalam acara ini ada seperti itu untuk ungkapan rasa syukur saja. Tapi, kenapa ya kok masih ada seperti itu? Siapa yang mengajarkan awalnya?Alam kale ya
[caption id="attachment_173432" align="alignleft" width="300" caption="cabe di ujung lidi (iko jepret)"][/caption] [caption id="attachment_173434" align="alignleft" width="300" caption="ada yang bawa pulang itu sapu (iko jepret)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H