Barat.
Entah hawa apa yang mampu menyebar ke udara. Berkolaborasi dengan oksigen yang akan lebih banyak ditemukan dan dicerna oleh gelembung udara yang berselaput tipis tersembunyi di naungan paru-paru bernama alveolus. Kepuasan apa namanya pun aku tidak tahu. Setiap meninggalkan lubang yang tak memiliki kedalaman lebih dari empat sentimeter dari permukaan. Semua daging yang bertulang kuatdan bernyawa masih terus berjalan dan membuat lubang yang sama dengan di tempat yang lain.
Antara bertompang pada kedua kaki dan memfokuskan lensa mata dengan memerintahkan saraf penglihatandalam penjara otak. Atau akan lebih memilih pantat sebagai posisi ternyaman bersentuhan dengan Bumi yang berinti api.
Pukul lima sore bukanlah waktu yang diteriakkan ibuku untuk meninggalkan segala kepuasanku bersama mereka diluar rumah. ‘Sudah mau magrib ayo masuk rumah, besok lagi diteruskan mainya ya’ kalimat yang hanya sebaris saja namun memutuskan kepuasan kekanak-kanakanku. Umur yang sudah menaiki anak tangga dua puluh masih merindukan suara itu dan udara membawakannya ke dalam saluran telinga.
Kini pulau lain sudah menarik kepuasanku. Menjauh sengaja dari sumber teriakan bernasehat. Satu, pemuda yang tanpa kaos atau kemeja kotak-kotakenggan menutupi tulang rusuknya yang begitu miskin kalsium. Setelah berdiskusi tentang dunia Barat, satu-persatu dari mereka melemparkan diri ke tepian laut Kidul. Misi apa yang sedang mereka rancang sedemikian rupa sehingga keberanian menyelam di laut Kidul. Pemuda itu bercelana hitam, sama hitam dengan pigmen kulitnya. Bur..........bur.......... empat detik berlalu kemudian memunculkan kepalanya yang berambut keriting. Perlahan beranjak dari rendaman air laut yang telah memandikan pasir hitam di pinggir pantai itu. Berlari ke arah dunia Barat, dasar gila matahari kok mau dikejar. Sedetik ombak menggulung tubuh kurusnya dan mencuri kefokusan pandangan heranku.
Lalu tiba-tiba disusul dua pemuda yang tak lain adalah teman gilanya. Yang kedua mengenakan kaos putih, wajah dengan pipi gembul lebih cerah kulitnya. Membungkus daging di pahanya dengan celana tipis. Pemuda ketiga sama dengan pemuda pertama yang sama-sama gila. Mereka bertiga bertemu dalam kepuasan mempermainkan nyawa yang diberikan Tuhan secara Cuma-Cuma. Puluhan gelombang asin semakin menggarami keberanian mereka bermain dengan kematian. Langit tidak mampu menunjukkan warna biru lagi. Matahari sangat indah seperti wajah seorang gadis yang telah empat detik baru saja melahirkan kehidupan baru bernama bayi dan menyandang gelar kehormatan ‘ibu’. Mungkin matahari ikut senang melihat ketiga pemuda itu memiliki keberanian demi kepuasan yang mengombak di dada mereka.
Ombak silih berganti membasahi sisi badani mereka bertiga bahkan ketawa keras mereka lakukan. Seperti anak kecil saja. Hari sudah memalingkan wajah ke sisi malam dan magrib pun hampir tiba. Mereka bertiga masih asyik berguling-guling merasakan kehangatan, mungkin kali. Mereka berbicara dengan mimik yang sangat gembira. Seperti mendapat hadiah mobil BMW di hari ulang tahun saja.
Tidak ada yang berani berselimutkan ombak pantai itu. Hanya mereka bertiga saja. Keberanian yang mempertaruhkan hilangnya sebilah nyawa. Setelah puas benar mungkin, mereka bergegas menepi di hamparan pasir hitam yang belum sempat termandikan air laut Kidul itu. Terus saja mereka berbicara dan tertawa lagi penuh kegembiraan. Rapi berbusana. Akhirnya mereka pergi menuju dunia Barat, mencari kepuasan dengan keberanian yang gila.
Kepergian mereka bertiga menjadikan malam muram. Sepi. Para dedaunan hijau pun mulai bekerja mengumpulkan cahaya bukan sinar matahari untuk mempertahankan kehidupan dalam dapurnya.
‘mungkin butuh keberanian untuk mencapai kepuasan yang menembus kapiler darah’
searching a plesure (dok p)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI