Raka melangkahkan kakinya semakin cepat, dengan jarak yang jauh-jauh pula. Seharusnya dia tiba setengah jam yang lalu. Mungkin sekarang teman-temannya sudah mempersiapkan masin-masing delapan ribu kata makian karena dia tidak dapat memenuhi janjinya. Sambil terus mempercepat jalannya otaknya terus berputar-putar mencari alasan yang paling tepat agar kali ini dia bisa lolos dari ocehan teman-temannya yang bisa membuat telinganya membengkak. Padahal tanpa makian dari teman-temannya itu telinga Raka sudah terlihat sangat lebar dan tebal, bahkan teman-temannya sering kali meledeknya dengan sebutan caplang atau kuping gajah.
Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi Raka dan ketiga temennya. Mereka berempat tergabung dalam sebuah Band bernama The Dun's. Raka sebagai bassis, Andre gitaris, Bimo drumer, dan Selly sebagai vokalis. Mereka merupakan salah satu band yang berhasil masuk final 'Rock Band' untuk daerah Bandung.
'Rock Band' adalah sebuah ajang kompetisi band terbesar di Indonesia, diadakan di lima kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Palembang, dan Bali. Dalam babak penyisihan The Dun’s beserta Sembilan grup band lainnya berhasil menyisihkan lebih dari seratus band yang berasal dari seluruh penjuru kota di Jawa Barat.
Raka mendekati sebuah bangunan tua. Di gerbangnya yang besar tergantung sebuah kain sepanjang 10 meter bertuliskan 'Final Rock Band Bandung' dengan tulisan yang sangat besar, tepat di atas sebuah gambar karikatur sebuah grup band rock yang kesemua anggotanya memiliki rambut mohawk dan memakai jacket kulit yang sangat ketat. Tepat dibawahnya terdapat sebuah tulisan berwarna merah darah berbunyi “ROCK TAK PERNAH MATI”.
Cukup lama Raka menatap kearah poster itu. Dalam benaknya dia membayangkan bahwa The Dun’s sedang berada dalam sebuah panggung yang sangat besar. Semua penonton tak henti-hentinya meneriakan nama The Dun’s sambil mengangkat tangan kanan yang terkepal seperti pada saat seorang tentara meneriakan kata ‘MERDEKA’. Kemudian para penonton berteriak semakin histeris ketika Raka membuka baju yang dia kenakan dan melemparkannya kearah penonton. Para penonton akan rela sikut-sikutan hanya untuk mendapatkan sehelai kain apek karena dibasahi oleh keringat Raka.
"Raka"
Raka sedikit tersentak mendengar teriakan itu. Teriakan yang segera membuyarkan lamunan Raka tentang mimpi-mimpinya.
“Raka”
Kali ini Raka sangat yakin kalau suara itu memang ditujukan padanya. Dia kemudian memutar-mutarkan pandangannya kekanan dan kekiri hingga akhirnya mata Raka tertuju pada sesosok gadis berperawakan kecil yang mengenakan kaos putih. Tangan gadis itu tak henti-hentinya melambai pada Raka. Raka membalas lambaian gadis itu.
Gadis itu duduk di belakang sebuah meja yang ditutupi dengan kain berenda berwarna merah. Di atas meja itu terdapat beberapa tumpuk kertas yang tersimpan rapi dalam sebuah map transparan. Gadis itu tak henti-hentinya memainkan sedotan yang ditancapkannya berkali-kali kedalam sebuah air mineral dalam kemasan gelas.
Raka berjalan mendekat kearah gadis itu. Kakinya tersandung dan hampir terjatuh ketika matanya tak henti-hentinya menatap sekelompok orang yang berpakaian sangat aneh. Memakai celana, kaos dan jubah serba hitam dan menggunakan pewarna bibir dan maskara yang hitam pula. Yang lebih aneh lagi rambut mereka yang panjang dikepang empat, dua kearah depan dan dua kearah belakang.