Mohon tunggu...
Sutanto Ibn Abinashr
Sutanto Ibn Abinashr Mohon Tunggu... -

Ingin bisa menulis,,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jauh di Mata Dekat di Hati, Siapa Dia?

13 Maret 2014   20:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amuk badai asmara sering kali membuat orang menjadi gila. Cerita cinta penuh lara telah menghiasi lembaran-lembaran buku tak berkesudahan. Mereka yang cintanya bertepuk sebelah tangan adalah orang-orang yang perlu diperhatikan dan dikasihani. Mereka harus belajar bagaimana mencintai dan kepada siapa hendaknya perioritas cinta dilabuhkan.

Ada cinta yang jika kita melabuhkannya ia tak akan bertepuk sebelah tangan. Ia akan mendapat sambutan tangan sebelahnya dan membentuk tepukan indah berirama mesra. Iya, cinta itu adalah cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. (Shalawatullahi 'alaika Ya Sayyidi Ya Rasulallah.....)

"Dari dulu beginilah cinta deritanya tiada akhir" tidak berlaku dalam cinta Rasul. Karena setiap yang mencintainya pasti akan mendapatkan kebahagiaan tanpa derita.

Kita dan Rasulullah Muhamad Shallallahu 'alaihi wa Sallam dipisahkan oleh dua dimensi; ruang dan waktu. Untuk mencapai Arab sebagai tempat sumber dari ajaran beliau, kita harus menempuh perjalanan yang begitu jauh. Kita harus melewati berpuluh puluh gunung dan bukit, hutan belantara yang begitu luas, lautan yang tak berujung, padang pasir gersang tak berair, puluhan negara dan melintasi benua. Kita hanya mendengar kabar Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam dari orang tua kita. Orang tua kita mendengar kabar beliau dari bapak ibu mereka atau kakek nenek kita. Mereka mendengar tentang beliau dari orang tua mereka dan seterusnya dan seterusnya. Kabar tentang nabi Akhir zaman ini telah sampai kepada kita secara mutawatir, turun temurun berpindah dari generasi ke generasi lain, yang mana di setiap generasi tersebut tidak mungkin ada kebohongan tentang kabar tersebut. Lebih dari tujuh turunan di atas kita telah menyampikan kabar tersebut dengan baik. Dan sampai sekarang kita menerimanya, mengimaninya serta mengikuti jalanya. Dan nanti kita juga akan menyampaikan dan mengenalkan sosok beliau kepada anak cucu kita dengan penuh cinta. Itulah nikmat iman.

Kita tidak melihat Sang Nabi akhir zaman namun kepadanya kita iman. Kita dipisahkan dengan beliau oleh ruang dan waktu. Arab adalah tempat lahir dan tumbuh beliau, di sanalah sumber dari ajaran yang beliau bawa. Risalah ilahiyah yang beliau sebarkan telah menerangi alam dan seisinya. Cahayanya telah menembus ruang dan waktu. Ia mampu menembus tebalnya gunung dan dinginya salju. Sampai sekarang sepeninggal beliau sejak sekitar 14 abad yang lalu, cahayanya masih mampu menerangi gelapnya dunia.. Maka inilah nikmat iman, kita tidak melihat beliau namun mengikuti ajaran yang beliau bawa.

14 abad telah berlalu, kita meyakini ajaranya dan mengamalkan apa yang beliau perintah dan beliau larang. Abu jahal, Abu lahab dan istrinya, mereka adalah orang-orang yang melihat dan menyksikan akhlak kanjeng Nabi, mereka mengakui bahwa beliau adalah orang jujur, orang yang mampu menjaga amanah. Keutamaan-keutamaan beliau mereka saksikan. Mereka hidup sezaman dan bahkan bertetengga dengan beliau. Namun, terhadap ajaran yang beliau bawa mereka mengingkarinya. Bahkan setelah beliau mendeklarasikan bahwa beliau adalah seorang Rasulullah atau utusan Allah, mereka memusuhi dan berusaha untuk menghentikan ajaran yang beliau bawa. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan beliau baik secara ruang dan waktu, namun mereka mengingkarinya. Inilah nikmat iman, di saat mereka yang dekat mengingkarinya, justru kita yang jauh darinya secara waktu dan tempat meyakini dan mengikuti ajaran beliau.


Maka pernah pada suatu waktu, Kanjeng Nabi mengandai-andai. Dia berkata kepada Abu Bakar yang kurang lebih maknanya seperti ini,

"Wahai Abu bakar, Betapa bahagianya aku, seandaianya bisa bertemu dengan saudara-saudaraku, seandainya aku bertemu dengan saudara-saudaraku, sungguh saya betul-betul mencintai mereka." Mendengar ucapan kenjeng Nabi ini Abu bakar segera menjawabnya, "Bukankah kita ini adalah saudara-saudaramu wahai Rasulallah,?"

"Bukan, " jawab beliau menjelaskan, "Kalian adalah sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah mereka kaum yang datang sesudah zamanku. Mereka tidak melihatku namun mereka mengimaniku dan mencintaiku bahkan cinta mereka kepadaku lebih besar dari cinta mereka terhadap anak dan orang tua mereka."

Inilah cinta. Jauh di mata baik dari dimensi ruang ataupun waktu namun sangat dekat dihati. Lisan kita selalu bershalawat atasnya tak henti-henti.

Salam cinta !

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun