Tujuh belas Maret 2020 menjadi hari pertama belajar dari rumah yang kami sangka hanya akan berlangsung selama 2 pekan saja sesuai surat edaran pemerintah kota saat itu. Ternyata, siapa yang mengira kegiatan semonoton ini sudah berlangsung selama satu tahun masehi, persis. Monoton? Tentu saja, bagi para guru yang selalu rindu melakukan interaksi tatap muka dan saling mentransfer energi bersama peserta didik. Tetapi dalam kenyataannya tentu setiap kejadian atau peristiwa memiliki dua sisi yang saling melengkapi, sebagaimana dua sisi mata uang yang nilainya tidak berlaku jika kehilangan salah satu. Tidak hanya berniat meratapi, tentu perlu ada semangat untuk beradaptasi termasuk bagi para guru masa pandemi.
Pandemi mengubah proses kehidupan dari berbagai segi. Betapa kita menjadi begitu intim dengan 6 langkah cuci tangan, betapa kita menjadi begitu akrab dengan berbagai jenis masker, dan betapa kita menjadi begitu karib menjadikan hand sanitizer sebagai bahan belanjaan di swalayan. Bukan hanya kesehatan, dunia pendidikan dan ekonomi turut mengalami perubahan. Bukan sekadar, tetapi begitu signifikan. Ingatkah ketika beberapa kota besar menerapkan aturan lockdown yang ditolak mentah-mentah oleh sekelompok masyarakat. Ingatkah juga ketika terjadi keriuhan saat semakin banyak korban berjatuhan.Â
Dunia pendidikan turut menggeliat, bertekad melepas diri dari belenggu pandemi. Masa-masa sulit memang saat butuh beradaptasi dengan kondisi yang serba asing dan tak pasti. Tak pasti kapan covid akan berlalu, tak pasti apakah sinyal internet akan terus menjadi ratu, tak pasti apakah pembelajaran akan tetap menarik dikemas oleh masing-masing guru. Namun ketidakpastian itu akan patah oleh semangat mendidik yang terus ruah. Satu tahun belajar dari rumah, ternyata juga menuntut guru ikut belajar. Bukankah guru adalah tenaga pengajar? Ya, tetapi keadaan menempa guru untuk sadar bahwa tugas mengajar tidak serta merta melepaskan kewajibannya untuk belajar.
Guru semakin dekat dengan berbagai macam aplikasi dan perangkat. Pembelajaran tatap muka mungkin sudah meminta guru menggunakan proyektor dan laptop di depan kelasnya untuk memutar video atau aplikasi belajar interaktif lainnya. Tapi kini, semakin banyak guru berlomba-lomba untuk mencipta, bukan sekadar mengonsumsi saja. Hebat? Tentu saja. Guru kembali pada kodrati. Tidak ada yang menyalahi jika langkah guru tertatih-tatih, yang jelas tidak boleh ada yang berhenti mencari ilmu dan informasi untuk terus memperbaiki kualitas diri yang semoga juga mempengaruhi kualitas peserta didik dan pendidikan nanti.
Satu tahun belajar dari rumah, saya mempelajari dan menekuni banyak hal. Mengetahui berbagai aplikasi yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan pembelajaran, mulai dari voice dan video call whatsapp yang sudah dimaklumi, mengetahui google meet dan zoom bahkan sampai hapal pada durasi dan jumlah peserta yang dibatasi. Melihat berbagai logo tambahan di desktop yang sebelumnya tak pernah diketahui. Ternyata ada bambuser, anymeeting dan berbagai fitur video conference lainnya. Mempelajari pula berbagai aplikasi yang dapat digunakan untuk melakukan pembelajaran asinkronus. Merekam penjelasan dengan guratan pena di sebelah kanan, sementara tangan kiri sibuk mengatur kamera agar tetap fokus. Menggunakan tripod, bukan lagi tongsis untuk selfie, sampai mengubah lembar demi lembar slide powerpoint menjadi video pembelajaran dengan suara guru sebagai dubber.
Ternyata ilmu teknologi tak habis sampai disitu, video pembelajaran pun bermacam ragam rupanya menjadikan guru memiliki akun youtube dengan konten-konten materi, bukan sekadar memuat lagu pop terkini dalam history. Berkenalan dengan vivavideo, kinemaster, filmora, camtasia dan lainnya. Berbagai cara diupayakan, otodidak maupun webinar. Semua diupayakan untuk menambah ilmu dan pengetahuan.
Setelah sekian lama seminar berbasis daring melalui live streaming dan video conference, kali ini saya ditawari pimpinan untuk mengikuti kegiatan pelatihan. Workshop teknik pembuatan video pembelajaran interaktif judulnya. Pelatihan ini memang dibuat oleh organisasi tempatan, tetapi ternyata efeknya luar biasa. Meski saat itu hampir gagal mendaftar karena tidak ada rekan seunit kerja yang berminat, ternyata kesempatan saya mendapatkan ilmu berharga ini masih ada. Bergabung sebagai peserta di gelombang 4 bersama 24 peserta lainnya. Kegiatan pelatihan ini dipelopori oleh Majelis Edukasi Gerakan Alumni TEQIP atau disingkat MEGAT. Panitianya? Senior-senior luar biasa dengan berbagai prestasinya.
Selama 3 hari sejak 15-17 Maret 2021, saya mengikuti workshop yang dilaksanakan di Ruang Aula SD 004 Tanjungpinang Barat, SD Teladan. Kegiatan luring ini dilakukan dengan benar-benar menerapkan protokol kesehatan. Saya beberapa kali ditegur karena menurunkan masker, akibat sibuk merekam audio untuk tugas. Apa saja yang saya dapatkan di sini? Banyak, saya coba jabarkan beberapa di antaranya.
Pertama yang saya terima sebelum narasumber memulai materi adalah energi. Energi positif yang muncul dari para panitia sangat terasa. Bagaimana cara memotivasi para peserta agar mengikuti kegiatan dengan bersungguh-sungguh. Energi ini stabil dari awal hingga hari terakhir. Prinsip yang tidak pernah merasa puas dan tinggi hati untuk tetap menjadikan diri sebagai gelas kosong yang siap menerima ilmu baru. Energi ini yang saya harapkan tetap ada dalam diri saya sampai di akhir masa tugas nanti.
Kedua dari teknik pembuatan video. Ini menjadi bagian yang selalu membuat saya menarik napas panjang selama mengikuti PPG dalam Jabatan 2020. Ternyata, kali ini diajarkan dengan cara santun dan santai sehingga saya dapat lebih menikmati alurnya. Menggunakan aplikasi movavi video suite, saya menguatkan ingatan untuk mengulang kembali proses otodidak yang saya tempuh untuk menyelesaikan tagihan tugas PPG. Ternyata, prosesnya semenarik itu.
Hari pertama, kami diajarkan teknik membuat RPP dan modul pembelajaran. Kemudian di bagi menjadi beberapa kelompok untuk melakukan perekaman video. Panitia dengan sigapnya menyediakan green screen di 5 ruangan berbeda, lengkap dengan tripod, mikrofon dan lightingnya. Peserta dikenalkan dengan aplikasi teleprompter yang dapat diunduh pada ponsel masing-masing sebagai bantuan saat membuat video. Sekitar pukul 10 pagi, kami masuk ke ruang kelas, saya bersama bu Anna dan bu Chandra tergabung dalam kelompok 5. Saya dan Bu Chandra perlu berulang kali rekam video, ada saja salahnya. Seperti kami tak biasa berbicara, padahal hanya grogi saja, merasa aneh di depan kamera. Bu Anna mulai merekam video ketika sudah mulai sore. Baru beberapa kalimat, terdengar suara nyaring dari toa masjid, dan suaranya pasti 'bocor' dalam video. Sebentar lagi Asar, bu Anna menunda sampai azan dan iqamat selesai saja. Mulutku yang agak celupah ini bergurau selepas Asar akan ada majelis taklim, dan benar saja. Bu Anna sampai mencari ruang kelas lain yang lebih hening.