Part 8. Sepotong Roti
'Dengan sepotong roti tawa itu hadir kembali mengulik kisah anak remaja yang baru mengenal cinta.'
Pagi di ujung jalan tak bertepi sang Surya menampakkan sinar jingga. Cahya-nya memantulkan ke bagian jalan beraspal. Tepat dimana gadis remaja berseragam itu melangkah. Suketi menuju Sekolah tanpa menumpang sepeda teman. Dia sangat kesal karena bangun kesiangan.Â
Gerbang Sekolah sebentar lagi tutup. Suketi menyadari kaus kakinya panjang sebelah namun tak sempat ia betulkan. Dalam keadaan gugup dia menjadi pelupa sampai topinya pun ikut tertinggal.Â
Setiap hari senin akan ada upacara. Suketi segera berlari menuju gerbang sekolah ia sudah terlambat sekian menit. Teman sekelasnya sudah berbaris di antara murid yang lain. Salah satu teman melirik ke arahnya dengan senyum mengejek namun tertahan. Karena terlambat masuk sekarang dia rela menjalani hukuman. Berdiri sendiri menghadap barisan timur, menatap pusat mentari.
Gadis remaja berpakaian putih biru sedang melawan teriknya matahari pagi, tubuhnya lelah berdiri sehabis berlari. Seperti inilah hukuman untuk anak yang tidak melengkapi pakaian seragam di Sekolah SMP Bina Bakti. Suketi harus mematuhi segala peraturan sebagai siswa di sekolah ini dan siap menerima hukuman dari kelalaiannya.
Tubuh mungilnya mulai tak kuat, nafasnya pun tersendat-sendat. Kakinya mulai gontai. Kepalanya makin berat. Pandangan matanya mulai kabur, perlahan terampas pekat lalu ambruk.
**
Suketi tak menyadari sekarang dia sudah berada di Ruang UKS bersama seorang laki-laki. Sesekali pria remaja itu tersenyum seakan membuat Suketi makin bingung sesuatu dalam dada yang mulia merekah. Jantungnya berdegup ketika balik memandang, rona wajah pria itu mampu menggetarkan seluruh tubuh. Dia mencoba mengingat wajah pria ini. Suketi mulai ingat bahwa pria di sampingnya adalah kakak kelasnya yang menjabat sebagai Wakil Ketua Osis.
"Keti, gimana sudah baikan kan?"Â
"Alhamdulilah, Kak. Emm.., makasih."