Setiap kali momen lebaran tiba, menyambut Hari Raya Idul Fitri pasti akan ada momen salam-salaman atau tradisi minal aidzin walfaizin mohon maaf lahir batin. Sebelum Covid-19 muncul, tradisi itu selalu dijalankan di Kampung khususnya di Pemalang.
Momen itulah yang menjadi ajang pamer busana bagi mereka yang bekerja dari perantauan. Menampilkan gaya orang kota dengan busana serba mewah memakai gelang dan cincin emas di jari manisnya.
Lucunya dari kebanyakan yang suka pamer di kampung, di perantauan cuma kerja jadi Asisten Rumah Tangga. Secara umum jika mereka sedang bekerja akan tampil biasa namun di kampung jika ditanya akan menutupi pekerjaan aslinya.Â
Itu terserah mereka, berbohong dosa ditanggung sendiri.Â
Cuma rasanya kalau ada orang yang seperti itu pengen kasih wejangan biar nggak suka pamer di depan umum.
Keberhasilan ditujukan bisa lewat berbagi tanpa harus menampilkan gaya kota namun keadaan sebenarnya biasa saja. Lewat memberi pecingan istilah Jawanya memberi kepada keponakan, santunan anak-anak lewat amplop lebaran. Itu lebih berarti dan menunjukkan bahwa kalian telah sukses di Perantauan.
Sikap pamer yang berlebihan malah membuat orang lain iri dan dengki, saat memandang pakaian anda yang bermerk brand ternama atau pamer mukena di tempat ibadah justru akan mengurangi pahala dan malah menambah dosa.
Kasihan mereka yang lebaran tak pernah bisa membeli baju baru atau mukena baru lantaran lebih mengutamakan kebutuhan sehari-hari untuk makan. Setidaknya kita pikirkan para tetangga kita yang hidup biasa saja.Â
Apa sih yang bermakna dari sikap suka pamer?Â