Mohon tunggu...
Ashira Darissa
Ashira Darissa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Istri Bos...

20 April 2015   10:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belakangan ini aku merasa aneh dengan sikap Bu Lala, istri Pak Dino pemilik perusahaan tempatku bekerja. Bahkan karena sikap 'aneh'nya itu, terlebih terhadapku, membuat beberapa temanku komplain padaku.

"Ajeng, sampai kapan kamu mau diperbantukan untuk mengurusi administrasi rumah tangga Bos? Kamu harus tegas dong! Biar si Bu Lala itu nggak semena-mena terhadap kamu!” kata Via saat kami sedang ngobrol sambil makan di tempat makan biasa kami berkumpul saat jam istirahat. “Iya tuh. Malah sering disuruh nginep juga untuk jagain anak-anaknya kalau mereka sedang pergi.” tambah Tari. Aku hanya diam sambil tersenyum datar mendengarkan ocehan kesal mereka. “Kalian ini gimana sih? Ajeng ini kan personal asisten nya Bos. Jadi wajar dong kalau dia juga bantu-bantu urusan rumahnya.” Titi berusaha untuk membelaku. “Titi! Dimana-mana, yang namanya personal asisten atau sekretaris pribadi itu ya bantu urusan kantor dan pribadi bosnya aja. Nggak sampai ke rumahnya lah…!” Via terlihat geram. Aku sendiri malas untuk menyahuti obrolan mereka.

“Apalagi sekarang Ajeng kan posisinya sudah berubah. Di bagian Marketing. Masa marketing masih disuruh ngurusin administrasi yang nggak jelas gitu?” Via masih mendominasi pembicaraan. Sambil menatapku dengan tatapan kesal. “Istri yang aneh! Padahal kan dia cuma di rumah aja. Kerjaan di rumah, sudah ada pembantu yang ngerjain. Anak-anaknya juga sudah ada yang bantu siapin kalau ke sekolah.” Lanjut Tari. “Yaah… kayak kamu nggak tau aja. Dia kan sibuknya update status, upload foto-foto gayanya yang nggak jelas itu, trus jalan-jalan habisin uang suaminya. Kita yang kerja mati-matian, boro-boro pernah dapat bonus. Parah!” tambah Via masih dengan sikap yang sangat emosi. “Sudahlah. Kalian jangan menjelek-jelekkan Bos kita terus. Bagaimanapun juga mereka kan atasan kita. Jadi seharusnya kita menghormati mereka.” Ucapku akhirnya. Mereka terlihat menyerbuku dengan pandangan kesal dan marah.

“Kamu tuh aneh ya Jeng! Apa jangan-jangan kamu suka ya sama Pak Dino?” tembak Via membuat mereka tertawa. Aku terkejut dengan pertanyaan sekaligus tuduhan Via itu. “Waah. Bisa jadi tuh. Karena sepertinya Pak Dino juga ada hati sama Ajeng. Ingat nggak waktu Ajeng nggak masuk beberapa hari lalu?” tambah Tari. “Waah…! Betul-betul. Seharian itu yang disebut-sebut sama Pak Dino cuma nama Ajeng. Bahkan kemarin itu muka beliau kusut seharian waktu Ajeng nggak masuk.” Lagi-lagi mereka tertawa usai mendengarkan perkataan Via.

“Cukup teman-teman! Aku nggak mau bahas masalah Bos lagi. Aku nggak punya kapasitas untuk membicarakan tentang atasanku. Karena aku menghormati mereka. Kalaupun kalian punya pandangan seperti itu. Itu hak kalian. Sudah ya aku duluan!” ucapku akhirnya dan pergi meninggalkan mereka. Titi menyusul langkahku. Tapi aku tak menghiraukannya.

Saat aku sedang menuju ruanganku, Pak Dino menelpon ke ponselku. “Ajeng, kamu dimana?” tanya Pak Dino. “Baru selesai makan siang Pak. Ada apa?” tanyaku. “Temani saya meeting ya. Saya tunggu kamu di ruangan saya.” Kata Pak Dino sebelum menutup teleponnya. Dan hari itu aku menemani Pak Dino meeting di tempat klien. Karena supirnya tidak masuk, Pak Dino sendiri yang menyetir mobilnya. Aku lebih banyak diam sepanjang perjalanan.

“Ada apa? Kok tumben mukamu ditekuk begitu?” tanya Pak Dino saat kami masih diperjalanan. “Nggak ada apa-apa Pak.” jawabku pelan. Tanpa sadar aku menghela nafas panjang. Pak Dino memandangiku saat kami terjebak macet karena lampu merah. Yang pasti, tak mungkin aku ceritakan pada Pak Dino tentang pembicaraan Tari dan Via tadi. Aku tetap diam sampai akhirnya kami tiba di tempat meeting.

Selesai meeting, Pak Dino mengajakku makan di restauran yang cukup mewah. Dan aku hanya berpikir mungkin beliau sedang ingin merayakan kemenangan tender tadi. Karena nilai tender tadi memang lumayan besar.

“Kamu mau makan apa?” tanya Pak Dino sambil tersenyum. “Terserah Bapak saja. Saya belum pernah makan di sini.” Jawabku sambil tersenyum juga. Pak Dino memesankan menu untuk kami berdua. “Selamat ya Pak telah menang tender.” Ucapku sambil tersenyum. Pak Dino membalas senyumanku sambil menatapku. “Terimakasih Ajeng. Kemenangan ini juga berkat kamu. Terimakasih ya untuk support yang telah kamu berikan pada saya.” Jawab Pak Dino. “Support?” tanyaku kurang mengerti maksudnya. Karena yang kutahu proyek yang tadi dimenangkan adalah murni dari Pak Dino sendiri. Aku hanya menemani beliau meeting sekali ini saja. “Iya. Sebenarnya saya sedang jenuh. Menghadapi rutinitas pekerjaan di kantor, situasi di rumah, belum lagi memikirkan kondisi istri saya yang sedang sakit.” Nada bicara Pak Dino berubah lemah. Aku ingat tentang kisah beliau beberapa bulan lalu. Bu Lala sedang sakit. Ada miom di rahimnya. Yang membuatnya pendarahan terus seperti sedang menstruasi tapi terus menerus selama hampir enam bulan ini. Itulah sebabnya aku tak pernah keberatan membantu rumah tangga Pak Dino. Aku sayang pada mereka. Aku juga sangat menghormati Bu Lala meski mungkin sikapnya akhir-akhir ini sering membuat kami kesal dan merasa aneh. “Bapak sabar ya. Semua ini kan hanya sementara. Saya yakin Ibu pasti sembuh.” Aku berusaha untuk menghibur hati Pak Dino yang hanya tersenyum datar menatapku.

Pak Dino bagiku adalah atasan yang baik. Meskipun pada awalnya, beliau sangat galak dan bahkan hampir setiap hari aku dimarahi. Tapi setahun belakangan ini sikap Pak Dino berubah drastis. Tampak lebih sabar dan juga bijaksana. Terhadapku pun sikapnya sangat lembut dan penuh perhatian. Dan aku bersyukur karena kuanggap Pak Dino berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Teman-temanpun mulai respek pada Pak Dino. Kecuali tentang istri beliau yang menurut mereka, sangat menjengkelkan.

Sebagai personal asisten direktur, aku berusaha bekerja sebaik mungkin. Mengambilkan makan dan minum untuk Pak Dino, adalah hal biasa yang sering kulakukan. Di sisi lain, Pak Dino itu kadang terkesan manja. Makan saja minta ditemani. Ada saja hal tak terduga yang membuatku kadang ingin ‘mentertawakan’ tingkah bosku yang satu itu. Tapi aku tak pernah berpikir sejauh yang dipikirkan Via tentang Pak Dino. Sudah menjadi hal yang biasa bagiku ketika Pak Dino menelponku malam-malam hanya sekedar bertanya apakah aku sudah tidur atau belum? Atau sengaja mencabut kabel monitorku saat aku sedang serius didepan komputerku. Semua hal konyol itu sering dilakukan Pak Dino ketika naluri iseng beliau sedang datang.

Hingga suatu hari, Pak Dino kehilangan sebuah surat pentingnya. Surat perjanjian dengan klien yang lupa diletakkan dimana. Saat itu kami semua disuruh membantu mencarinya di semua sudut ruangan kantor. Dan Pak Dino juga menyuruhku membongkar semua lemari yang ada di ruang kerjanya. Memang hanya ada aku dan Pak Dino di ruang kerja itu. Hingga pada satu kejadian, dimana tanpa kami sadari, kami memegang satu kertas bersamaan. Seperti sebuah adegan film drama saja. Tangan kanannya tanpa sengaja memegang tangan kananku yang saat itu sedang mengambil sebuah kertas. Detik berikutnya kami saling pandang. Dan kejadian itu berlangsung beberapa detik sampai akhirnya Bu Lala muncul diantara kami. Kami berduapun sangat terkejut. “Mami!” seru Pak Dino terkejut. “Oh, ternyata benar ya firasat saya selama ini. Ternyata kamu ada main sama dia. Sekretaris pribadi kamu yang selalu kamu bangga-banggakan di depan saya? Sudah saya duga sebelumnya. Tidak mungkin kamu tidak ada apa-apa sama perempuan murahan ini sampai-sampai hampir setiap malam kamu mengigau dan menyebut namanya!” kata-kata Bu Lala itu seperti bedug yang ditabuh tepat di dekat gendang telingaku. Aku tersentak dan tak percaya dengan ucapan Bu Lala itu. Detak jantungku tiba-tiba menjadi semakin cepat. “Mami! Kamu ini ngomong apa sih?” sentak Pak Dino pada istrinya. “Kenapa Papi? Kaget saya ngomong seperti ini? Dan kamu Ajeng. Pura-pura lugu padahal berhati busuk. Saya muak lihat muka kamu disini!” aku tak pernah menduga kalau akan mendengar perkataan sekasar itu dari orang yang selama ini aku hormati. Nafasku semakin berat dan detak jantungku juga kian cepat. Saat pandangku beradu dengan Pak Dino kulihat tatapan Pak Dino seperti meminta maaf padaku atas perbuatan istrinya itu. Karena merasa tidak nyaman, akupun pamit dari hadapan mereka. Saat aku hendak keluar pintu, aku melintas didepan Bu Lala. Dia mendorong tubuhku hingga aku terjatuh dan kepalaku terantuk sebuah meja. Dan setelah itu aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Aku terkejut saat melihat orang-orang disekelilingku. Ada Pak Dino, Tari, Titi, Via, dan beberapa teman kantorku yang lain. Mereka berdiri mengelilingi aku yang sedang terbaring disebuah tempat tidur seperti di rumah sakit. Dan ternyata benar. Aku tengah terbaring di sebuah kamar rumah sakit akibat pingsan dan pendarahan di pelipisku. Mereka tersenyum ketika melihat aku sadar. Dan tak lama kemudian mereka meninggalkan aku dengan Pak Dino di kamar rumah sakit itu. “Atas nama istri saya, saya minta maaf ya Ajeng.” Kata Pak Dino pelan. Kulihat matanya berkaca-kaca menatapku. “Tidak apa-apa Pak. Menurut saya sangat wajar kalau sebagai seorang istri mengkhawatirkan suaminya menyukai perempuan lain.” Jawabku. “Kamu benar Ajeng. Saya juga mengerti mengapa istri saya sangat cemburu terhadap kamu. Karena sejak awal kami menikah, dia tau kalau saya tidak pernah mencintainya. Dan tiba-tiba saya memuji perempuan lain di depannya.” Pengakuan Pak Dino membuatku terdiam. Kami masih saling pandang. Pak Dino membelai lembut luka di pelipisku yang terbalut perban. “Semua ini tidak akan terjadi seandainya saya dapat menahan perasaan saya terhadap kamu. Maafkan saya Ajeng.” Airmata Pak Dino jatuh di selimutku. Tanpa sadar sepertinya mataku juga berkaca-kaca. Menahan haru dalam hati. Aku juga merasakan hal yang sama dengan Pak Dino. Tapi aku tak mungkin mau merebut posisi istri beliau sebagai pemilik sah beliau yang telah direstui Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun