Mohon tunggu...
Ashira Darissa
Ashira Darissa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Memotret Hujan

18 April 2015   13:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:57 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1429354135585725119

Ilustrasi/kompasiana(kompas.com)

“Memotret Hujan. Tapi aku tak pernah berhasil. Selalu saja tak tampak rintik hujan yang sedang berjatuhan itu. Meskipun mataku jelas melihat bagaimana titik-titik air itu berjatuhan dari langit, dan dapat kurasakan basah ketika menyentuh kulitku. Sama halnya dengan hatimu. Wajahmu tampak jelas pada pandangan mataku. Bahkan sentuhan pun dapat kita rasakan bersama, tapi sedikitpun hatimu tak dapat ku raih apalagi kumiliki.”

Mendung siang ini begitu dahsyat. Sampai-sampai sinar Matahari yang selalu merajai siang hari, terkalahkan olehnya. Begitu pekat dan bahkan gelap meliputi langit Tangerang siang ini. Mas Pras sedang keluar kota. Sejak aku menikah, aku sudah tidak bekerja lagi di kantor.

Saat menatap hujan yang turun dengan lebatnya dari balik kaca jendela kamarku, tiba-tiba ingatanku menangkap sosok Aira. Gadis lugu dan periang yang dulu bekerja sebagai resepsionis di kantor tempatku bekerja. Namun akhirnya mengundurkan diri karena aku.

“Kenapa sih aku nggak pernah bisa motret hujan Mbak?” tanya Aira suatu ketika saat kami sedang berlibur bersama dengan semua teman-teman kantor ke Puncak. Dan saat itu aku tak menghiraukannya. “Kurang kerjaan banget sih kamu? Hujan kok dipotret?” jawabku dengan nada sedikit kesal. Memori ponselku hampir habis hanya untuk eksperimennya yang ‘tak jelas’ itu. Aira hanya diam saat aku mengambil kembali ponselku dari tangannya.

“Aira…!” tak terasa bibirku mengucapkan namanya bahkan terdengar begitu dalam oleh telingaku. Pelan namun pasti tiba-tiba bayang-bayang tentang Aira terputar sempurna dalam ingatanku.

“Kamu jahat banget sih Mbak sama aku? Memangnya aku salah apa sama kamu?” teriakan Aira waktu itu menggema di ruang meeting. Tak lama kemudian beberapa teman lainnya menghampiri kami. Aira tampak menahan air matanya. Aku hanya meyakinkan teman-teman lainnya bahwa antara aku dan Aira hanya ada sedikit salah paham saja.

Aira begitu marah saat aku mengutarakan isi hatiku. Isi hati yang terus bergejolak setiap kali aku berada di dekat Aira dan bahkan ketika aku hanya sekedar mengingatnya. Aira menganggap ‘ungkapan perasaanku’ saat itu adalah sebuah tindak pelecehan.

“Aku ini normal Mbak. Jadi nggak mungkin aku suka sama perempuan! Lagian Mbak Nita juga aneh. Ngapain coba bilang suka sama aku?” Aira tak dapat membendung lagi tangisnya. Aku hanya terdiam sambil menghela nafas panjang berkali-kali. Ingin rasanya aku menyentuh wajahnya dan mengusap airmatanya itu. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk melakukannya.

Aku memang aneh. Menghadapi Direktur, bahkan bos-bos perusahaan besar saja aku sangat berani dan percaya diri tapi mengapa hanya menghadapi seorang Aira, aku menjadi sekerdil ini? Detak jantungku selalu berpacu dengan cepat tiap kali aku berhadapan dengan Aira. Aku sendiri tak tahu mengapa hal itu terjadi. Baru pada Aira dan hanya pada Aira aku merasakan hal seperti ini. Hal yang membuatku sendiri merasa aneh. Teman-temanku selalu menjuluki aku sebagai ‘gadis penakhluk hati laki-laki’. Ya. Benar. Hanya hati para laki-laki yang dapat ku takhlukkan. Tidak hati gadis seperti Aira. Sangat sulit rasanya untuk membuatnya tersadar bahwa sejak pertama kali dia datang sebagai karyawan baru, tatap matanya telah membuatku gelisah hingga saat ini.

Sejak kejadian di ruang meeting, Aira tidak masuk kerja. Kudengar kabar kalau dia sedang sakit. Ingin rasanya aku mendatangi rumahnya dan memeluknya. Tapi perusahaan sedang memberiku tugas ke luar kota selama satu Minggu. Dan sikap Aira sangat membuatku ‘stress’. Telponku tak pernah diangkat, dan pesan singkatku pun tak pernah dibalasnya.

Hingga saat kami bertemu lagi di kantor, saat itu baru aku dan dia yang datang. Kantor belum dibuka. Kami duduk berdua diteras kantor. Diam tanpa kata yang kami ucapkan. Aira tampak sangat dingin. Bahkan tersenyum saja tidak. Sungguh! Hari itu Aira membuatku tampak bodoh. Manager marketing yang juga sangat disegani oleh para pejabat penting di kantor, serta dihormati oleh para klien, mendadak menjadi seorang yang seolah-olah tak punya arti apa-apa dihadapan gadis lugu yang hanyalah seorang resepsionis di kantor kami. Anak baru pula! Entah pada siapa sebenarnya rasa kesalku saat itu. Pada Aira yang telah menolak ‘cintaku’ atau pada diriku sendiri yang telah ‘jatuh cinta’ padanya?

Aku sudah hilang akal untuk dapat meraih hati Aira. Hingga hal itu benar-benar membuatku sangat depresi. Kuacuhkan semua laki-laki yang saat itu dekat denganku. Sama halnya dengan Aira. Aku yang tadinya sangat ramah dan supel, mendadak berubah menjadi lebih suka diam dan membisu.

Tak sadar Aira telah membuatku mampu menghabiskan waktu berjam-jam di sebuah food court di salah satu Mall besar di kawasan Tangerang. Bukan saja waktu yang telah ku habiskan sejak Mall itu buka hingga akan tutup. Tapi juga berbatang-batang rokok dan minuman bersoda telah habis bergelas-gelas. Aku pulang pun karena memang Mall nya sudah mau tutup. Hari sudah larut. Aku melajukan mobil menuju rumahku yang juga ada di daerah Tangerang. Dan karena ‘kebodohan’ ku itulah aku jatuh sakit. Berbagai macam penyakit menyerangku bersamaan. Ginjal, jantung, dan juga maag ku ikut kambuh. Sony, adik laki-laki ku satu-satunya itu membawaku ke Rumah Sakit yang akhirnya aku dirawat selama beberapa hari.

Aku senang ketika Tina memberiku kabar kalau dia dan teman-teman kantor akan menjengukku di Rumah Sakit. Aku senang bukan karena kedatangan mereka. Tapi aku sangat berharap Aira pun ikut bersama mereka. Tapi ternyata, Aira tak ada. Aku tak berani bertanya pada Tina mengapa Aira tak ikut. Aku takut Aira telah menceritakan tentang kejadian di ruang meeting itu pada teman-teman yang lain. Tapi sepertinya dari sikap mereka, tidak ada tanda-tanda kalau mereka tahu bahwa aku telah mengutarakan perasaanku pada Aira kemarin itu.

Tapi aku terkejut saat tiba-tiba Aira datang bersama Arman. Staff IT di kantor yang terkenal pendiam dan juga sulit didekati. Namun aku sendiri tak pernah tertarik padanya. Meskipun penampilannya memang keren, tapi aku tak suka dengan laki-laki yang usianya lebih muda dariku. Dia setahun diatas Aira. Dan sebenarnya secara logika, aku melihat mereka sangat serasi. Tapi tidak! Tak ada seorangpun yang boleh memiliki Aira. Bantahku dalam hati. Tapi saat itu, aku mencoba meredam cemburuku. Karena melihatnya ada dihadapanku saat itu saja aku merasa sangat senang.

“Terimakasih ya Aira, kamu sudah mau jenguk saya.” Ucapku pelan namun tulus. Aira memandangiku sambil masih berdiri di samping Arman. “Cepat sembuh ya Mbak. Maaf baru bisa jenguk sekarang. Karena tadi banyak tamu.” Nada suara Aira terdengar begitu lembut dan merdu di telingaku. Bahkan seperti embun yang menyejukkan hatiku yang sedang gersang. Gersang karena rindu yang menggila.

Aku menunggu kesempatan untuk dapat berdua saja dengan Aira. Tapi sepertinya Arman dan Aira tak dapat dipisahkan. Kalau aku mengatakan pada Aira aku ingin bicara berdua saja dengannya, sudah pasti Aira akan menolakku. Aku memutar otak bagaimana agar aku dapat menyentuhnya. Bahkan sekedar ujung jari Aira pun tak apa. Dan sepertinya Iblis telah memberiku ide yang cukup jenius. Aku meminta tolong pada Aira untuk mengambilkan minum yang ada di meja karena tanganku tak sampai. Dengan cekatan Aira mengambil gelas dan mendekatkannya kepadaku. Sepertinya dia tidak menduga ‘niat jahat’ ku itu. Dan saat Aira semakin mendekat ke arahku, kupegang tangan kanannya yang sedang memegang gelas. Ku genggam tangan kanan Aira bersama dengan gelas yang dipegangnya. Sikap Aira tiba-tiba berubah. Dia menjadi gugup. Dan disaat yang bersamaan, Arman ijin untuk menerima telepon karena memang nada dering ponselnya sejak tadi sangat menggangguku. Dan itu adalah saat yang tepat bagiku untuk dapat ‘menjerat’ Aira lebih dalam lagi.

“Kenapa Aira? Kenapa kamu menolak saya? Kamu tau, setiap saat saya selalu memikirkan kamu. Penolakanmu telah membuat semangat hidup saya menjadi hancur.” Ucapku pelan sambil masih menggengam tangan kanan Aira. Kulihat wajah Aira memerah. Airmatanya kembali keluar. Dan kali itu aku puas karena dapat mengusap airmatanya meski dengan tangan yang bergetar. “Kamu jahat Mbak!” ucap Aira pelan. “Kamu juga Aira!” kuambil tangan kiri Aira dan meletakkan ke dadaku. Agar dia dapat merasakan betapa saat itu jantungku sedang berdetak hebat.

“Kamu dapat merasakannya kan? Aku nggak pernah bohong dengan semua ucapanku kepadamu Aira. Ini sungguhan!” Aira semakin terisak. Aku sudah tak peduli lagi jika Arman mengetahui hal itu. Aira tak menjawab sepatah katapun dari ungkapanku tadi. Dia pamit pulang saat Arman kembali. Aku tak dapat mengungkapkan bagaimana kondisi hatiku saat itu. Tapi paling tidak, Aira tahu bahwa aku sedang tidak berbohong tentang perasaanku.

Aira, begitu menyukai hujan. Sementara aku, sangat membenci hujan. Karena hujan sering membuatku sakit. Hingga suatu hari, aku tak menyangka kalau akhirnya aku dapat memeluk tubuh Aira justru ditengah hujan. Saat tak sengaja kami pulang bersama. Aira menangis dan terus berkata kalau aku ini jahat. Aku tak peduli dengan kata-katanya. Yang membuatku sangat senang adalah dia tidak menolak pelukanku. Dan entah setan apa yang sedang merasukiku saat itu yang membuat gairahku semakin memuncak. Aku ingin lebih dari sekedar memeluknya. Hampir saja aku berhasil mencium bibir Aira. Tiba-tiba saja Aira mendorongku hingga aku terjatuh. Dan itu adalah saat terakhir aku bertemu Aira. Menurut teman-teman, Aira berhenti bekerja. Aku sendiri tak berani lagi untuk mencarinya.

Dan hari ini, aku masih dapat merasakan bagaimana gejolak hasratku ketika itu. Sama halnya seperti yang pernah Aira katakan. Aku pun tak pernah berhasil memotret hujan. Sama dengan kegagalanku untuk dapat memiliki hati Aira. Tapi bagaimananpun juga aku tetap bersyukur atas penolakan Aira. Karena jika tidak, mungkin aku tidak akan pernah mau menikah dengan laki-laki hingga saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun