Mohon tunggu...
E.E.
E.E. Mohon Tunggu... -

ini pun akan berlalu..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Yang Ilahi dan Yang dibenci

24 Oktober 2011   15:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:33 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"I really only love God as much as I love the person I love the least." Terjemahan bebas oleh saya, "Saya benar-benar mengasihi Allah, sebesar kasih saya kepada orang yang sedikit saya cintai". Ini adalah kata-kata bijak yang diungkapkan oleh Dorothy Day, seorang jurnalis yang berubah menjadi aktivis sosial dan anggota Gereja Katolik Roma yang taat.


Saya sungguh termakan oleh kata-kata ini. Sebab, Dorothy dengan tegas menyamakan kasih kepada yang ilahi dengan tindakan kasih yang sudah dilakukan kepada sesama manusia. Seberapa besar kasih kepada orang lain, sedemikianlah menurutnya kasih yang (sebenarnya) hadir untuk Yang ilahi. Jika saya belum mampu mengasihi orang yang saya benci -saat kasih, kepedulian, pengampunan saya menjadi begitu kecil untuknya- sedemikian juga adanya kasih saya untuk yang tidak terlihat, Yang Maha Besar, Yang Ilahi.


Entah dari mana Dorothy mendapat ide seperti ini. Besar kemungkinan ia terinspirasi oleh Yesus Kristus yang meramu dengan bijak hukum-hukum keagamaan Yahudi menjadi dua hukum penting yang saling terkait satu sama lain, yang dicatat dalam Injil Matius 22:37-39, Markus 12:30-31, Lukas 10:27.


Baik Yesus Kristus dan Dorothy Day mengajak saya untuk serius memikirkan dan melaksanakan dengan keseimbangan sempurna antara kesalehan individu dengan kesalehan sosial, sebentuk perilaku keagamaan yang tidak berkanjang dalam ruang domestifikasi belaka, tetapi menjadi daya gerak, daya ubah, katalisator bagi perubahan sosial kemasyarakatan.


Baik Dorothy Day maupun Yesus Kristus, bukan hanya sekedar omong kosong saat mengungkapkan kata-kata ini. Keduanya dicatat sejarah sebagai orang-orang yang sungguh peduli terhadap sesamanya. Mereka tidak sedang menyebarkan agama atau menonjolkan agama tertentu di sini. Mereka sedang menunjukkan jati diri kemanusiaan yang hakiki, bahwasanya manusia membawa gambar diri yang Ilahi dalam dirinya, saat belas kasihan kepada sesama ciptaan-Nya merajai kehidupan dan berbuah dalam tindakan kepedulian. Bagi mereka, pengabaian akan nilai-nilai kemanusiaan sama saja dengan tindakan kebencian kepada yang Ilahi. Apakah semangat ini terus merajai kehidupan saya juga? Atau bahkan juga merajai setiap insan pemercaya yang Ilahi?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun