Mohon tunggu...
aksara jogja
aksara jogja Mohon Tunggu... -

organisasi nonprofit

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Konflik Pengungsi dan Fenomena Mbah Maridjan

25 November 2010   07:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh SUTRISNO BUDIHARTO*


Usai Lebaran lalu, saya dan teman-teman dari Aksara – sebuah LSM di Yogyakarta -- diundang naik ke lereng Gunung Merapi untuk mengikuti acara halal bi halal dengan warga Dukuh Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Perlu diketahui, kawasan Dukuh Turgo merupakan wilayah yang berada di
Kawasan Rawan Bahaya (KRB) III, yakni merupakan wilayah yang paling dekat dengan sumber bahaya dan berpotensi terlanda awan panas, aliran lava pijar (guguran/lontaran material pijar, dan gas beracun) yang bersumber dari Gunung Merapi.

Dalam acara halal bihalal lalu, Kepala Desa Purwobinangun Suharno ternyata juga ikut hadir dan sudah memberikan peringatan kepada warga Turgo agar waspada terkait adanya peningkatan aktivitas vulkanik belakangan ini. Ketika status Gunung Merapi dinyatakan naik secara beruntun dari “Waspada Merapi”, “Siaga Merapi” hingga akhirnya “Awas Merapi”, aparatur pemerintah – baik di Jawa Tengah maupun Yogyakarta - sudah memberikan peringatan agar semua warga di kawasan rawan bencana segera mengungsi ke tempat aman yang telah disiapkan. Peringatan itu juga disampaikan aparatur Pemerintah Kabupaten Sleman kepada warga lereng Merapi di wilayah Yogyakarta.

Tapi apa yang terjadi? Tidak semua warga menuruti perintah mengungsi tersebut. Juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan, misalnya, tidak juga turun meski Merapi telah mengeluarkan awan panas. Tokoh spiritual yang dikenal jadi bintang iklan tersebut tetap memilih tinggal di Desa Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Sampai pukul 21.00 Selasa malam, Mbah Maridjan belum tampak ikut mengungsi di lokasi pengungsian.

Pada tahun 2006 silam, Mbah Maridjan pernah memicu ketegangan komunikasi karena enggan memenuhi perintah mengungsi dari aparatur setempat ketika Gunung Merepi begejolak dan dinyatakan dalam status Awas Merapi. Ketika itu, tokoh panutan warga lereng Merepi tersebut nekat memilih tinggal di kediamannya bersama warga sekitar karena berdasar prediksinya Gunung Merapi tak akan meletus. Kala itu, prediksi Mbah Mardjan memang tepat; bahaya awan panas tak akan mengamuk desanya. Mungkin karena keberaniannya itulah yang mengantarkan Mbah Mardjan menjadi terkenal sebagai bintang iklan. Tapi kali ini, Gunung Merapi benar-benar meletus Selasa sore. Sedang awan panas benar-benar menyapu wilayah Kinahrejo.

Dalam hitungan menit pasca erupsi Merapi sudah ditemukan korban tewas yang berasal dari desa tempat tinggal Mbah Maridjan. Tim Evakuasi yang dikirim ke rumah Mbah Maridjan sekitar pukul 22.00 WIB Selasa malam juga berhasil menemukan belasan jenazah tergeletak di sekitar rumah Mbah Maridjan dan empat jenazah lainnya berada di dalam rumah Mbah Mardjan. Setelah diidentifikasi, salah satu jenazah yang ditemukan di rumah Mbah Maridjan itu adalah seorang wartawan media online VIVAnews.com, Yuniawan Wahyu Nogroho.

Andai saja, warga lereng Merapi di Kawasan Rawan Bahaya (KRB) III - yang paling dekat dengan sumber bahaya – itu bersedia mematuhi perintah mengungsi, boleh jadi tak akan ada korban jiwa akibat sengatan awan panas wedhus gembel. Kenapa warga lereng Merapi di Kawasan Rawan Bahaya (KRB) III berani nekad menghadapi risiko bahaya letusan Merapi, termasuk keganasan awan panas? Pantaskah mereka dipersalahkan akibat kenekatannya itu?

Ketengangan Komunikasi di Balik Mitologi Gunung Merapi

Kalau hanya membaca persoalannya secara sekilas, siapapun mungkin akan mudah mempersalahkan warga lereng Merapi yang enggan mengungsi tersebut. Tapi kalau bersedia menyelami permasalahan lebih dalam di kawasan lereng Merapi, mungkin memiliki pandangan lebih luas lagi dan dan tidak akan gampang mempersalahkan warga lereng Merapi yang berani nekat menantang bahaya Merapi.

Menurut hasil Studi Kasus Merapi yang dilakukan Dati Fatimah (Direktur Aksara Yogyakarta), setidaknya ada dua faktor yang membuat warga Merapi berani nekat tinggal di kawasan lereng Merapi, yakni; faktor ekonomi dan faktor kultural. Di Turgo misalnya, sejak lama sudah terdapat kepercayaan bahwa Merapi tak akan mungkin ’mencelakakan’ Turgo. Hal ini terjadi karena di kawasan KRB itu terdapat bukit Turgo, yakni sebuah bukit yangdipercayai sebagai ’Bibi Emban(bibi perawat) bagi Merapi. Karena dipercayai sebagai Bibi Emban itulah, jika Merapi meletus diyakini tak akan berani melangkahiBibi Emban-nya tersebut.

Tak aneh, ketika Gunung Merapi dikabarkan erupsi pada 22 November 1994 sekitar pukul 10.00 pagi),warga Dukuh Turgo tidak terlalu panik. Sebaliknya, ketika dikabari Merapi meletus sebagian warga Turgo justru ada yang naik ke bukit Turgo karena ingin melihat puncak Merapi lebih dekat. Sedang warga lainnya tetap menjalankan aktivitas harian seperti biasa (umumnya pencari rumput pakan ternak). Bahkan, tidak sedikit warga yang tetap santai-santai saja mengikuti acara hajatan di rumah seorang warga setempat.

Sikap santai warga Turgo kala itu ternyata berakibat fatal. Dalam hitungan menit, suasana Turgo pada Selasa pagi 22 November 1994 yang semula dihiasi acara pesta hajatan, mendadak berubah menjadi mencekam karena disapu Wedhus Gembel. Kecepatan gerak awan panas suhu tinggi ekses letusan Gunung Merapi 1994 itu meluncur dengan cepat menghanguskan segala benda, rumah penduduk atau tumbuhan yang dilewatinya. Tidak hanya itu, 40 lebih warga tewas dengan tubuh hangus.. “Tetangga sebelah rumah saya, sekujur tubuhnya hangus ketika sedang ngeloni anaknya di tempat tidur,’’ kenang Teguh Sutrisno kepada penulis.

Waktu itu, kenang Teguh, dirinya sudah memberikan peringatan kepada warga agar mengungsi. Tapi banyak yang tak memperhatikan peringatan tersebut karena merasa yakin Turgo akan aman. Kepercayaan spiritual semacam itulah jugatumbuh di kalangan masyarakat Kinahrejo. Bedanya, kepercayaan spirtual di Kinahrejo itu terbangun kuat pada peran Mbah Maridjan, yang ditunjuk sebagai juru kunci Gunung Merapi oleh Sultan Hamengkubuwono (HB) X.

Pada tahun 2006, ketika Mbah Maridjan memilih tidak mengungsi dan diikuti oleh warga Turgo, sempat melahirkan isu krusial sekitar ketegangan hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berargumen bahwa masyarakat di daerah rawan harus turun karena risikonya berat bila jatuh korban. Sementara masyarakat memilih tetap bertahan di rumahnya, baik karena alasan kultural maupun ekonomi. Ketengangan silang pendapat semacam ini ternyata tetap terjadi lagi tahun 2010 ini ketika status Merapi dinyatakan naik dalam kondisi Awas Merapi. Wakil Bupati Sleman merasa pesimis untuk membujuk Mbah Maridjan karena perintah mengungsi dari Sultan HB XI saja pernah tak dipenuhi oleh Mbah Maridjan.

Belakangan diketahui bahwa dampak erupsi Merapi 2010 ini ternyata cukup fatal, menimbulkan banyak korban jiwa di Kinahrejo, termasuk Mbah Maridjan. Dampak fatal itu juga pernah dialami warga Turgo pada erupsi 1994. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mungkinkah mitologi Merapi akan runtuh pasca meninggalnya Mbah Maridjan?

§Tingginya Opportunity CostPengungsi Merapi

Tewasnya puluhan orang warga Turgo pada erupsi Merapi 1994 dan warga Kinahrejo pada erpsi Merapi 2010 tersebut, boleh jadi bisa meruntuhkan mitologi (kepercayaan spiritual) masyarakat lereng Merapi. Namun hal itu belum tentu akan mampu menghilangkan ketengangan komunikasi sekitar masalah pengungsi. Kenapa demikian? Ada faktor ekonomi yang membuat warga sekitar lereng Merapi enggan meninggalkan rumah yang mereka diami secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.

Menurut hasil Studi Kasus Merapi (Dati Fatimah – 2008), warga lereng Merapi enggan meninggalkan tempat tinggalnya karena harga yang harus dibayar warga –khususnya opportunity cost bidang ekonomi/ternak dan sumber penghidupan lain- dirasa cukup besar (DatiFatimah – 2008). Pasca erupsi 1994 lalu, warga Turgo yang menjadi korban wedhus gembel akan direlokasi pemerintah setempat ke daerah yang lebih aman. Sebab, pada erupasi 1994 perumahan penduduk Turgo benar-benar luluh lantak akibat amukan wedhus gembel.

Meski rumah warga Turgo kebanyakan sudah hangus disapu wedhus gembel dan tertimbun pasir atau debu vulkanik akibat erupsi Merapi 1994, nyatanya warga Turgo tetap banyak yang enggan direlokasi ke daerah lain karena sumber penghidupannya (umumnya bertani tanaman keras dan beternak) hanya berada di Turgo. ”Kalau harus direlokasi, kami mau hidup dengan apa? Wong tanah warga ada di sini,” ujar warga Turgo kepada penulis.

Untungnya, pada erupsi 2010 ini warga Turgo belum ada yang dilaporkan menjadi korban keganasan wedhus gembel. Boleh jadi, warga Turgo sudah banyak belajar dari tragedi erupsi 1994. Mereka cepat mengungsi ke tempat aman begitu ada peringatan dini. Tentu ini sangat berbeda dengan warga desa di tempat tinggal Mbah Mardjan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: haruskah warga lereng Merapi akan selalu berhadapan dengan tantangan maut akibat erupsi gunung api? Untuk mencairkan tantangan maut di lereng Merapi itu, maka hanya ada satu jalan: aparatur pemerintah dan pihak terkait lainnya perlu mencemati faktor ekonomi dan kultural yang dihadapi warga lereng Merapi, baik itu warga di sekitar tempat tinggal Mbah Mardjan maupun daerah lainnya. (SUTRISNO BUDIHARTO)

------------------------------------------------------------

Penulis adalah mantan jurnalis, kini aktif sebagai pegiat pada Perhimpunan Aksara Yogyakarta.

This post was written by:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun