Beberapa Perkara Menarik dalam "Arok-Dedes"
Akrommulyadi
Membaca novel Arok-Dedes karya Pramoedya Ananta Toer ini, saya seperti melihat lebih dekat keadaan Jawa pada tahun 1200-an. Baik keadaan lingkungan yang masih banyak hutan maupun keadaan sosial dan politik dalam sistem monarki atau kerajaan yang berpegang teguh pada hukum, norma, dan kaidah Hindu. Novel ini menceritakan kejatuhan pemimpin Tumapel oleh seseorang bernama Arok.
Perbedaan keyakinan antara Syiwa dan Wisnu memengaruhi lingkungan sosial, bahkan keputusan politik. Saya tidak cukup paham apa dan mengapa Syiwa dan Wisnu sulit bertoleransi.
Dua tokoh utama dalam novel ini adalah Arok dan Dedes. Arok digambarkan tidak jelas siapa orang tua kandungnya. Ia diasuh oleh dua keluarga dan keduanya pun bukan keluarga sedarah. Ia sering membuat kerusuhan bersama teman-temannya. Kemudian, akibat Arok lebih dikasihi daripada lima saudaranya, dalam keluarga asuh yang kedua, ia pergi dan diarahkan oleh bapaknya berguru ke Tantripala. Kemampuan berpikir dan semangat belajarnya yang baik, membuat proses belajar itu berlangsung cepat, kemudian Tantripala mengarahkan dia kepada Dang Hyang Lohgawe untuk belajar ilmu yang lebih tinggi.
Kerusuhan di Tumapel semakin besar hingga Tunggul Ametung, pemimpin Tumapel, meminta bantuan kepada Dang Hyang Lohgawe, sebagai brahmana suci terkemuka. Dang Hyang Lohgawe memercayakan penumpasan kerusuhan itu pada Arok. Di sinilah salah satu kesalahan Tunggul Ametung. Dia tahu salah satu perusuh itu adalah Arok, tetapi dia menerima dan memercayai Arok untuk membantu menumpas kerusuhan. Arok pun "melawan" pasukannya sendiri dan dengan cerdik mengatur peperangan agar kelompoknya menang. Lalu, menggulingkan kepemimpinan Tunggul Ametung.
Adapun Dedes adalah gadis desa yang sangat cantik, anak brahmana, Empu Parwa. Dia diculik dan dijadikan istri oleh Tunggul Ametung.  Penculikan itu diinisiasi Arya Artya, brahmana yang kemudian tidak dihargai oleh Tunggul Ametung. Tunggul Ametung menjadikan Dedes sebagai permaisuri. Namun hal itu menambah geram para brahmana yang merasa  tidak dihargai sejak zaman Erlangga. Masyarakat menghargai Dedes berkat kebaikan, kecantikan, dan darah brahmananya.
Ada beberapa hal menarik bagi saya. Pertama, penggambaran segala sesuatu yang amat detail membuat saya kagum. Setiap detail menambah kuat karakter tokoh dan hubungan antartokoh. Bukan hanya tokoh, melainkan juga latar dan suasana. Saya tenggelam ke dalam cerita, bahkan membayangkan andai saya hidup bersama mereka dalam suasana perang itu.
Kedua, setiap tokoh punya watak yang berbeda, dengan karakter masing-masing yang begitu terasa nyata. Membuat setiap sekecil apa pun gerak tokoh itu sangat penting dalam membentuk keutuhan cerita
Namun saat membaca, ada bagian saya menalar agak lama. Itulah saat tokoh Tunggul Ametung tiba-tiba menjadi penurut kepada sang istri, yang menyarankan dia menerima Arok. Tunggul Ametung tidak membantah sama sekali, meski dalam hati ragu. Saya menemukan dua kemungkinan yang memengaruhi hati dan pikiran Tunggul Ametung. Pertama, kedudukan Dang Hyang Lohgawe yang tinggi, baik di kalangan brahmana maupun di masyarakat. Kedua, rasa cinta dia kepada Dedes.
Ketiga, tokoh Arok sangat cerdas dan itu konsisten. Dia hanya seminggu menguasai ilmu Nirwikana, Darana, Pratyahara, Pramayama, dan Ekagrata, sedangkan sang guru, Tantripala, sampai tiga tahun. Saya tidak tahu sama sekali ilmu-ilmu itu, tetapi jika melihat perbandingan waktu seminggu dan tiga tahun, itu sangat luar biasa. Dia juga cepat memahami isi kitab-kitab suci ketika belajar pada Dang Hyang Lohgawe.