Dari jasad orang-orang menyerah, meluaplah kefakiran mengubur lautan otak-otak tak tahu diri. Meluaplah menutup jalan membunuh kendaraan. Meluaplah kepalan paling menyentak menembus tengkorak para koruptor.
Lalu terhenti sejenak semuanya. Semuanya. Kecuali para penggawa tombol peledak bom atom dan bom hidrogen. Ketika bosan menang pertarungan tak seimbang, atau ketika seimbang dan ketegangan mencapai puncaknya.
Dari bangkai orang-orang miskin, asap hijau amat harum di hidung para presiden. Ah, melegakan hati para pencari kepuasan yang tak AKAN puas. Lalu ketika terlelap para pemimpin bermimpi menanggung malu paling menyayat wajah. Wajah mereka bak dubur sedang diare.
Ruang sangat terbatas untuk menyembunyikan malu, ia ciptakan sendiri sebetulnya, tetapi juga mesti tampak mata binar mereka. Maka rakyat jelata mulai melayangkan umpatan "Dasar tak tahu malu!" dan melempari mereka dengan batu dan kotoran kerbau.
"Ah, sudah biasa itu, mah," jawab para pemimpin dengan entengnya, menunjukkan senyum dengan masih sewir rendang menyangkut di sela gigi. Para polisi kepanikan. Ia tak sadar refleksnya telah memihak pada yang salah. Mikropon yang dipegang para wartawan tak lagi mengarah ke kemaluan, mungkin mereka merasa aman terhibur dan menyenangkan.
Bagi orang miskin yang masih hidup, kemerdekaan adalah mati. Kemudian kematian mereka menjadi kemerdekaan baru bagi keluarga pencuri. Pencuri memang bodoh, tidak memerhatikan para penggawa tombol bom hidrogen sedang berkeliaran sedangkan mata mereka melek.
"Siapa yang bodoh? Jadilah penurut jika ingin selamat," kata pencuri dengan percaya diri. Ia sengaja mengabaikan ribuan orang miskin mati setiap hari. "Jadilah pendengar jika tak ingin perang," sambungnya. Kali ini tidak menyadari bahwa perang akan tetap ada dan tumbuh.
Smarang, 22 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H