Baru-baru ini DPR RI telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 sebagai undang-undang. Perppu tersebut berisi tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Dari UU ini yang menjadi perhatian adalah isi dari pasal 27 yang dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum luar biasa bagi pemerintah dalam menggunakan uang negara. Dalam hal ini, aparat pemerintah tidak bisa dituntut mengenai pengelolaan uang dalam penanganan COVID-19.
Tentu hal ini akan berpotensi menimbulkan tindak korupsi dalam jajaran pemerintahan dalam penanganan COVID-19. Dalam Perppu tersebut, pemerintah menambahkan anggaran untuk kesehatan, peningkatan kapasitas rumah sakit, jaminan sosial, intensif pajak dan program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp. 405,1 triliun. Tentu angka yang sangat besar ini sangat mengkhawatirkan akan timbulnya tindak korupsi dan penyelewengan dana yang dilakukan oleh aparat pemerintahan dalam penanganan pandemi.
Dalam rapat pengesahan yang dilakukan pada 13 Mei 2020 itu, semua fraksi menyetujui Perppu tersebut untuk dijadikan UU dan hanya satu fraksi yang menolak, yaitu fraksi PKS. PKS menyoroti Perppu ini sebagai potensi yang akan bertentangan dengan konstitusi yang ada. Hal ini dikarenakan menurut fraksi PKS, Perppu ini tidak menunjukkan komitmen pemerintah untuk penanganan COVID serta tidak mengatur tentang perlindungan terhadap rakyat dari wabah yang ada.
Pemerintahan yang berjalan tanpa adanya oposisi tentu akan memiliki kemungkinan korup sebagaimana Sir John Dalberg-Acton katakan:
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Kekuasaan akan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Ketiadaannya oposisi menimbulkan kekuasaan absolut yang dimiliki oleh pemerintah. Jika kita melihat peran PKS sebagai oposisi, tentu tidak akan cukup untuk menandingi sisa fraksi yang merupakan fraksi yang mendukung pemerintahan yang berjalan kini. Hal ini dikarenakan pada akhirnya rapat-rapat yang dijalankan DPR akan menggunakan sistem voting yang akan mengandalkan banyaknya massa. Ketidakseimbangan massa antara petahana dan oposisi akan menimbulkan kekuasaan yang absolut bagi pemerintah untuk menjalankan semua agendanya. Pada akhirnya tidak akan ada checks and balances yang terjadi antara DPR sebagai perwakilan rakyat dan presiden sebagai eksekutif.
Sebagai warga negara yang baik, kita juga memiliki tugas untuk mengawasi pemerintahan yang ada. Walaupun pada akhirnya kita tidak bisa melakukan sesuatu yang berpengaruh langsung terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan. Tetapi bukan berarti kita tidak bisa ikut andil dalam melaksanakan checks and balances melalui partisipasi politik informal seperti demonstrasi, penandatanganan petisi, melakukan aksi diam dan berbagai partisipasi politik yang bisa dilakukan oleh masyarakat luas tanpa perlu memiliki jabatan di pemerintahan.
Sudah menjadi tugas kita bersama untuk tetap mengawasi dan mengkritisi pemerintah jika pemerintah dinilai telah lalai dan mengabaikan aspirasi masyarakat. Kita juga harus lebih bijaksana dalam memilih partai politik pada pemilu berikutnya. Apakah partai yang kita pilih akan menjadi oposisi sejati jika tidak menang, atau pada akhirnya partai yang kita pilih hanya alat untuk melancarkan seluruh agenda pemerintah. Pada akhirnya semua tergantung kita sebagai masyarakat untuk terus berpartisipasi dalam kegiatan politik baik formal maupun informal sehingga negara demokrasi yang baik akan terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H