Beberapa hari terakhir masyarakat disuguhkan dengan isu-isu yang tidak jelas oleh pihak pemerintah, bahkan boleh dikatakan “hoax?”, pasalnya ada beberapa pernyataan yang dilantunkan pemerintah dan tidak sesuai dengan kenyataan atau bahkan dibatalkan.
Beberapa diantaranya dalam penanganan pasca gempa di sulawesi tengah yang dijanjikan oleh Presiden Jokowi akan kembali pulih dalam sepekan (sumber), namun hingga tulisan ini terbit masih juga belum teratasi, baik pasokan makanan, kelistrikan bahkan pencarian korban yang hingga kini masih belum ditemukan sebanyak 5000an orang.
Belum selesai sampai disitu ada lagi pernyataan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yang mengatakan harga BBM jenis premium akan naik pada pukul 18.00 (Rabu, 10/10/18) kemarin namun tidak jadi.
Hal ini menandakan kurangnya kordinasi antara badan-badan negara dan kepala negara, pasalnya Isnasius Jonan dalam pernyataannya juga mengatakan bahwa kenaikan harga BBM jenis Premium merupakan instruksi Presiden Joko Widodo (Sumber).
Menteri ESDM Ignasius Jonan menurut analisis penulis tidak mungkin hanya mengeluarkan kebijakan semaunya, beliau pasti telah memperhitungkan secara matang kebijakan tersebut ditengah merosotnya rupiah dan naiknya harga minyak dunia, maka harus ada kebijakan menaikkan harga BBM, namun hal ini ditentang oleh Jokowi sebagai Calon Presiden incumbent nomor urut 1.
Hal ini bisa menimbulkan adanya dugaan pencitraan Jokowi, karena bisa dipastikan citra Jokowi akan merosot jika BBM jenis Premium kembali dinaikkan yang juga akan berdampak pada inflasi kenaikan harga komoditas barang di pasar.
Jika dugaan ini benar maka sangat miris melihat kebijakan yang dikeluarkan Jokowi hanya demi pencitraan semata tanpa memikirkan efek jangka panjangnya.
Bukan hanya sekali ini kebijakan yang dikeluarkan oleh menteri ESDM ditentang Jokowi, sebelumnya juga ada kebijakan Isnasius Jonan sewaktu menjabat sebagai menteri perhubungan pada tahun 2015 lalu yang ingin melarang pengoperasian ojek online juga ditentang oleh Jokowi.
Poinnya bukan dari kebijakannya namun lemahnya kordinasi antara kepala negara dan menteri-menterinya, hal ini menandakan lemahnya leadership Joko Widodo sebagai kepala negara yang harusnya mengetahui terlebih dahulu segala kebijakan yang akan dirasakan langsung oleh masyarakat banyak sebelum kebijakan tersebut keluar ke publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H