Rentetan panjang telah menemani perjalanan organisasi ekonomi yang diperkenalkan di Indonesia sejak awal abad ke-20 ini. Tujuannya luhur, memperbaiki dan mensejahterakan kehidupan rakyat kecil. Ia acapkali didengungkan karena mampu berdiri kokoh saat krisis ekonomi melanda negeri tahun 1998. Sayangnya, seiring waktu ia dirundung pilu. Sederat masalah perlahan menggorogoti kelembagaan dan mengikis integritasnya, menjadikan modal kepercayaan (trust capital) sebagai salah satu modal utama yang ia miliki mulai memudar. Ia bahkan dicap berjalan lamban, timbul tenggelam, bahkan mati suri dan hanya meninggalkan papan nama yang terpasang lengkap dengan logo pohon beringin. Kini, perlahan ia mulai bangkit menunjukkan taringnya. Berinovasi atas nama teknologi di tengah pusaran digitalisasi, dengan harapan sentuhan ide gerenasi mudanya. Ia semestinya bisa tumbuh jauh lebih besar, lebih dari sekedar gelar soko guru perekonomian.
Milenial nan Digital
Rasanya tidak ada waktu untuk berlama-lama di tengah perkembangan teknologi yang kian pesat. Digitalisasi mengharuskan untuk segera menyesuaikan atau bahkan merubah landscape bisnis. Pilihannya hanya ada dua, melakukan reformasi ke arah digital atau memilih untuk tetap menempuh conventional way. Sayangnya, berbagai badan usaha sekelas dunia yang sempat merajai pasar global terpaksa surut karena tak lagi mampu mengikuti dan mengimbangi dinamisnya permintaan pasar.
Di tengah disprupsi digital yang kian masif ini, Indonesia patut berbangga. Bonus demografi sudah ada di depan mata. Masa dimana banyaknya kelompok usia produktif akan lebih banyak dari non produktif. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan jumlah populasi penduduk kategori generasi milenial di Indonesia mencapai 90 juta orang[i]. Jumlah itu lebih dari sepertiga jumlah penduduk negeri ini.
Generasi milenial identik dengan teknologi yang melekat dalam kehidupan nya lewat genggaman ponsel. Tak heran jika peran kaum milenial selalu disandingkan dengan teknologi digital. Berbagai inovasi perusahaan rintisan dan bentuk lainnya telah berhasil melahirkan digital economy. Tak heran, belakangan ini milenial diharapkan dapat menjadi penerus estafet pengembangan potensi koperasi di Indonesia karena nilai-nilai koperasi yang dinilai selaras dengan gaya hidup yang mereka cita-citakan. Koperasi pun kemudian diminta mereformasi diri mewadahi milenial untuk berkontiribusi lebih.
Koperasi Zaman Now
Pada dasarnya berbagai koperasi telah bertransformasi menjadi koperasi digital sejak beberapa tahun terakhir. Sebut saja, Digicoop dengan tagline “Ownerhsip for Everyone”, hadir sebagai salah satu koperasi digital dengan menyediakan ponsel yang dirancang sebagai platform untuk mendukung mobilitas para anggotanya. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Pembiayaan Syaria Pracico yang merupakan entitas bisnis terafiliasi dengan Multi Inti Sarana Group (MIS Group) juga hadir sebagai “Koperasi Masa Kini” dengan keanggotaan yang diimplementasikan salah satunya dalam bentuk aplikasi bernama Pricaco Provillage yang dirancang user friendly dan mengintegrasikan berbagai informasi produk, merchant, notifikasi, data profil keanggotaan, serta informasi lainnya. Aplikasi Sobatku (Simpanan Online Sahabatku) yang kini menjadi salah satu aplikasi populer merupakan besutan kerja sama KSP Sahabat Mitra Sejati dengan salah satu mitra bank, menjadi salah satu pelopor koperasi yang telah menggunakan financial technology (fintech). KSP Koperasi Nusantara (kopnus) juga hadir dengan aplikasi Kopnus Digi yang mengusung tagline “Live more, easy life” yang memungkinkan para anggotanya dapat mengakses layanan keuangan baik itu pembukaan rekening, simpanan harian, simpanan berjangka, setoran, penarikan, transfer, dan transaksi lainnya secara online kapan pun dan dimanapun, hanya melalui perangkat mobile tanpa mendatangi kantor koperasi.
Di lain sisi, start-up berbasis koperasi atau start-up coop juga mulai hadir di tengah-tengah milenial. Start-up coop ini disebut-sebut sebagai cara baru milenial berkoperasi. Danaprospera merupakan contoh bagaimana sebuah platform crowdfunding berbasis koperasi atau fintech pertama di Indonesia dengan izin koperasi pinjam meminjam. Sifat kepemilikannya merupakan mitra bersama berbasis gotong royong dan saling berkolaborasi. Salah satu upaya Danaprospera dalam mengembangkan usahanya yaitu menjalin kerjasama dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Surabaya memperkenalkan fitur Rekening Komunitas – sebuah layanan dimana para anggota koperasi dapat berinvetasi ke sektor riil UMKM hanya dengan membuka tabungan bermodal minimal 100 ribu[ii].
Prinsip kolaborasi milenial ini diproyeksikan akan terus memunculkan wajah-wajah baru koperasi di zaman now tanpa mengabaikan spirit gotong royong dan kebersamaan. Bukan tidak mungkin, ke depan wajah koperasi tidak lagi hanya sebatas simpan pinjam atau multiguna, melainkan muncul koperasi dalam berbagai bentuk dan jenis.
Bangun Sinergitas
Mereposisi wajah baru koperasi dalam konteks saat ini patut diacungi jempol. Koperasi tidak lagi terkungkung pada stigma yang melekat selama ini: tertinggal, berjalan lamban, timbul tenggelam, mati suri. Koperasi perlahan hadir dengan wajah baru. Kini saatnya kita tidak terlalu berorientasi pada kuantitas koperasi, melainkan kualitas. Kualitas ini yang diharapkan bisa menjadi fokus untuk memperkuat berbagai sisi, baik di pelayanan maupun kelembagaan, pengembangan bisnis, serta mendorong kesejahteraan para anggotanya. Teknologi digital yang telah ada terus dikembangkan dan dibangun untuk memperluas jaringan bisnis dan konektivitas koperasi, serta pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Dengan teknologi yang melahirkan transparansi dan akuntabilitas diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan melalui kolaborasi dengan mitra strategis. Bonus demografi dan keberadaan milenial perlu segera disikapi dengan penciptaan dan pelibatan dalam kerangka strategi SDM berkualitas. Pilihannya, memilenialkan koperasi atau mengkoperasikan milenial. Oleh karena itu, optimalisasi media sosial sebagai platform milenial masa kini dioptimalkan sebagai interaksi dua arah dalam upaya menggaet milenial. Memiliki media sosial atau pun online platform lainnya tidaklah cukup, diperlukan pembaruan dan kreativitas berkelanjutan. Interaksi dua arah, meramu konten dan layanan yang menarik perlu menjadi perhatian, termasuk pemberdayaan komunitas online dan netizen.