Mohon tunggu...
Akmal M Roem
Akmal M Roem Mohon Tunggu... wiraswasta -

menyukai sesuatu yang mudah dipahami, enak dibaca, segar untuk dicerna, senang untuk dikerjakan. Guru SM-3T Aceh. Mengajar di pedalaman Kalimantan Barat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ziarah Lumpur

10 Mei 2010   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:18 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh: Akmal M. Roem


Selamat datang, tuan-tuan dan nyonya-nyonya!
Selamat datang di kampung kami yang mulia ini
Lihatlah sekelilingmu, gedung yang indah dan megah ini
Mereka sengaja membuat gedung ini supaya kalian tidak lupa
Bahwa laut pernah sejenak meninggalkan pantai pasir putih di Lhoknga
Bahwa laut pernah hinggap di jalan-jalan sempit di Punge Blang Cut

Inilah kemegahan yang akan kau nikmati puluhan tahun lamanya
Kemegahan yang mereka cipta dari uang-uang ziarah
Tapi, dalam kemegahan ini, mereka juga sempatkan menjarah
Lalu, menyisakan sedikit luka yang tak pernah bisa diselesaikan

Aceh belum sembuh benar dari luka-luka tahun silam
Setelah perang mengurung dan merenggut asa bocah-bocah malang di kampung kami
Kini lara kampung kembali tersentak oleh air raya yang mencabik-cabik
Ribuan tubuh yang sebelumnya tak pernah menyangka akan hal ini

Lima tahun sudah berlalu
Kisah laut berlumpur menggulung kampung sembilan yang murung
Tubuh-tubuh ini tersentak lalu terbujur kaku
Pohon-pohon terburai
Rumah-rumah hancur lebur
Kampung kami luluh lantak, tak bersisa

Lihatlah tulisan di dinding itu, mereka mencoba menghibur kami
Mengajak kami untuk bangkit kembali dari keterpurukan ini
Tapi, aku melihat mereka menari-nari di atas duka
Perempuan-perempuan kenangan,
Mereka menertawakan tangisan bocah-bocah yang malang
Mencari jejak ibunda yang telah menjadi cerita lalu

Sudahlah, tuan-tuan dan nyonya-nyonya!
Jangan kau paksakan diri untuk tersenyum lagi
Begitu busuk negeri kami setelah laut murka

Darimana harus kumulai cerita duka ini?
Ketika anak-anak dan cucuku bertanya tentang kampungnya,
Saat hendak terbuai mimpi
Darimana, tuan?
Dari perangkah?
Dari gempakah?
Dari air rayakah?
Atau,
Dari kebiadaban tuan-tuan berdasi yang menggulung habis uang-uang ziarah itu?
Katakan padaku, tuan!

Kau kumpulkan uang-uang ziarah itu,
Lalu kau sulap menjadi satu singgahsana sejarah yang megah
Kau peruntukkan itu bagi mereka yang kau terka akan melupakan sejarah
Laut berlumpur menggulung kampung ini

O, tuan!
Cukup sudah kami merasakan lara yang begitu menyesakkan
Jangan biarkan kami menambah satu cerita lagi tentang kebiadabanmu itu
Cukupkanlah caramu menjarah uang-uang ziarah itu!

Semoga kau mendengar dan paham benar tetang kegelisahan
Yang kukirim dari dasar tanah yang tak pernah kau kunjung lagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun