Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Militan tapi Tidak Toleran, Orangtua yang Berperan

8 Oktober 2023   06:27 Diperbarui: 8 Oktober 2023   07:12 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cinta Damai - jalandamai.org

Setiap pasutri sudah pasti berkeinginan memiliki keturunan yang shalih karena anak merupakan aset penting jangka panjang. Terlebih anak shalih, ia akan menjadi investasi dunia akhirat yang tak ternilai harganya. Rasulullah SAW bersabda didalam hadits; "Ketika anak Adam meninggal dunia, maka akan putuslah semua amalnya, kecuali tiga hal, ilmu yang bermanfaat, shadaqah yang mengalir, dan anak yang shalih yang selalu mendoakan orang tuanya." (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa'I dan Ahmad)

Tidak sedikit kebahagiaan yang didapat ketika lahirnya sang buah hati. Namun kebahagiaan itu sepaket dengan tanggung jawab yang sangat besar. Akankah  buah hati yang merupakan titipan Sang Maha pencipta akan menjadi aset penting atau malah menjadi musibah? Anak-anak ibarat selembar kertas putih tanpa noda, jiwanya belum ternoda dengan keburukan apapun. Akan dituliskan apa di atasnya terserah kepada orangtuanya. Rasulullah SAW pun pernah menyampaikan dalam sebuah hadits; "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah tergantung dari orang tuanyalah yang mau membawa dia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi."

 Oleh karena itu orang tua mempunyai andil yang sangat besar dalam menentukannya. Semua itu tergantung kepada pendidikan yang diberikan orang tua, jika anak mendapatkan pendidikan yang baik dan arahan yang benar, maka Insya Allah akan menjadi anak yang shalih.

Pendidikan haruslah dilakukan sedini mungkin. Diusia kanak-kanak adalah kesempatan bagi orangtua untuk menanamkan nilai-nilai yang baik pada jiwa dan akhlak anak, terutama nilai agamanya. Usia anak-anak menjadi usia yang tepat dalam menumbuhkan karakter taat dalam dirinya. Orangtua haruslah berhati-hati dalam mendidik anaknya, memilihkan tempat pendidikan yang baik, mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada anak sejak dini. Sebagai pendidik atau madrasah pertama bagi anak-anaknya, orangtua selayaknya membekali diri dengan ilmu agama maupun pengetahuan lainnya.

Dengan begitu orang tua dapat memberikan pendidikan dan pengarahan saat menjawab rasa ingin tahu anak yang begitu besar. Jika anak-anak mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tua sejak dini, maka dapat dipastikan mereka nantinya akan menjadi orang yang kreatif, intelek, berakhlak mulia dan mampu mempersiapkan dirinya untuk masa depan. 

Mengemban tugas tersebut bukanlah hal yang mudah namun harus dijalani dengan serius jika kita mau anak kita siap menghadapi segala tantangan di era modern ini. Dimana anak-anak tumbuh bersama dengan kecanggihan teknologi, mereka begitu mudah mengakses informasi dimanapun dan kapanpun. Ketika zaman berubah tentu tantangan yang dihadapi berubah pula. Maka dari itu orang tua harus berupaya agar apa yang ditanamkan atau didikan mereka sejak dini dapat menjadi penangkal, benteng ataupun filter ketika mereka digempur begitu banyak informasi. Orang tua tidak boleh melepas begitu saja, tetap harus mendampingi anak-anak mereka. Ketika mereka butuh mengkonfirmasi suatu hal setidaknya orang tua hadir untuk mengedukasi agar anak tidak salah haluan.

Terkait urusan agama, pasti banyak orang tua yang memprioritaskanya dalam pendidikan anak-anak mereka. Namun yang patut disayangkan adalah bahwa penguasaan ilmu agama seringkali tidak berbanding lurus dengan adab dan akhlak mereka. Ini terbutkti masih saja ada anak-anak yang melakukan perundungan, diskriminatif, dan intoleran. Hal ini haruslah menjadi perhatian orang tua, mengapa? Karena artinya nilai-nilai dasar yang ditanamkan orang tua saat anak usia dini tidak berhasil. 

Atau mungkin nilai-nilai tersebut diajarkan namun orang tua tidak menjadi role model sehingga tidak ada tokoh panutan. Atau barangkali orang tua mengajarkan dan mencontohkan namun tidak terus menerus dipantau karena kesibukannya, sehingga tidak ada yang mengingatkan kembali. Bisa juga karena anak bergaul dengan teman-teman yang tidak mendapatkan pendidikan nilai-nilai keberagaman, kesetaraan, dan toleransi.

Tidak bisa tidak, orang tua tidak boleh lengah hanya berfokus pada urusan ritual agama saja tanpa memperhatikan aspek kecerdasan sosial anak. Jika anak-anak disibukkan dengan ritual tanpa meningkatkan kecerdasan sosial akan menjadi santapan empuk kelompok radikal. Jika sudah begitu sangatlah rentan dan mudah dimanfaatkan oleh kelompok radikal karena mereka semakin masif menyebarkan narasi-narasi radikalisme melalui berbagai kanal website dan media sosial. Dengan kamuflase edukasi "parenting ala agama" mereka hanya mendorong orang tua untuk hanya fokus pada urusan ritualnya saja, tanpa memperhatikan aspek kecerdasan sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun