Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I yang dilaksanakan di Hotel Shangri-La, Surabaya pada Senin (6/2/2023) lalu membuahkan butir-butir rekomendasi hasil ijtihad ratusan ulama berbagai negara dengan sedikitnya 15 pakar sebagai pembicara kunci baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Forum yang digagas oleh Nahdlatul Ulama dalam rangka memperingati 1 Abad NU tersebut memperbincangkan Fiqih Peradaban. Hasil rekomendasi pertemuan itu dibacakan oleh KH Mustofa Bisri dan Yenny Wahid di hadapan Presiden Joko Widodo dengan menegaskan cita-cita dan penerapan khilafah yang tidak sesuai dengan prinsip maqashid syariah (tujuan pokok agama).
Fiqih sebagai produk ijtihad para ulama digunakan sebagai pisau analisis dalam memandang realitas yang terus bergerak dinamis. Karena itulah, produk pemikiran akan terus berubah karena mengikuti realitas perubahan zaman yang dinamis. Adanya fiqih peradaban ini menjadi kepastian hukum syariat atas pemikiran penegakkan khilafah yang selama ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat baik di Indonesia khususnya maupun di dunia pada umumnya. Fiqih peradaban ini juga menjadi landasan bagi umat muslim di seluruh dunia untuk menolak gagasan penegakkan khilafah karena hal itu tidak sesuai dengan tujuan pokok agama, yaitu; menjaga agama (hifz al-din), menjaga jiwa (hifz al--nafs), menjaga akal (hifz al-aql), menjaga keturunan (hifz al-nasl) dan menjaga harta (hifz al-mal).
Para ulama NU telah membersamai perjalanan umat Islam Nusantara dalam relasi berbangsa dan bernegara sejak era kolonial hingga era digital saat ini. Pemikiran-pemikiran brilian ulama NU hadir sebagai acuan umat muslim dalam bersikap ditengah permasalahan kebangsaan. Â Â
Pada era kolonial meski Indonesia dijajah dan dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, NU memandang nusantara adalah daerah Islam atau darul Islam. Bukan daulah Islamiyah atau pemerintah Islam. Kesepakatan darul Islam bukan status politik kenegaraan akan tetapi sebagai status wilayah nusantara. Penyebutan ini memiliki konsekuensi pemberlakuan syariat Islam, contohnya bila ada jenazah yang tidak jelas identitasnya maka akan diperlakukan sebagai muslim.
Para ulama NU yang juga ikut berjuang bagi kemerdekaan Indonesia berijtihad untuk tidak memilih negara Islam pada tahun 1945 dan menyepakati Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pilihan tersebut tentunya didasarkan pada konsensus kebangsaan dan demi kemaslahatan bersama.
Meski bukan negara Islam, NU melalui KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad pada Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Untuk itu membela tanah air sebagai tempat tinggal bersama merupakan jihad bagi masyarakat muslim Indonesia. Â
Di tengah kegamangan umat Islam yang beranggapan bahwa pancasila tidak sesuai dengan syariat, NU dengan tegas menjawab kegamangan tersebut dengan memaknai pancasila adalah ruh dan semangat yang tidak bertentangan dengan agama. NU menegaskan keselarasan hubungan antara Islam dan Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
NU pun memperkenalkan prinsip peradaban membangun persatuan yang dikenal dengan trilogi persaudaran; ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah/insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Trilogi ini mulai memantapkan jati diri bangsa Indonesia dan Islam pada khususnya. Tidak ada lagi dikotomi antara sesama anak bangsa untuk memusuhi atau memandang yang lain berdasarkan identitas primordialnya. Yang tidak seagama masih bersaudara dalam kebangsaan, yang tidak satu bangsa masih bersaudara dalam kemanusiaan.
Â