Berita mengenai pemaksaan jilbab terhadap salah satu siswi SMAN 1 Banguntapan, Yogyakarta oleh guru BP menghiasi media massa belakangan ini. Mungkin publik masih ingat peristiwa SMKN 2 Padang yang mewajibkan siswi non muslim untuk mengenakan jilbab. Pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005 aturan itu sudah berjalan lebih dari 15 tahun namun baru mencuat pada awal tahun 2021.
Peraturan antara pusat dan daerah seharusnya bersinergi, apabila ada peraturan daerah yang tidak sesuai dengan aturan pusat sudah seharusnya pemerintah pusat dalam hal ini kemendagri dan kemendikbud tidak mendiamkan dan melakukan pembiaran terhadap regulasi daerah yang bermuatan intoleransi di sekolah. Seharusnya pemerintah pusat aktif mengkaji peraturan daerah agar dapat mengantisipasi dan meminimalisir muatan yang mengandung intoleransi, diskriminasi dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip kebhinnekaan, Pancasila dan UUD 1945 dalam peraturan daerah.Â
Kasus pemaksaan jilbab di sekolah umum disinyalir banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hanya berselang beberapa hari dari kejadian SMAN 1 Banguntapan, dilansir dari laman tempo.co pada tanggal 3 Agustus 2022, Â adanya dugaan pemaksaan jilbab di dua sekolah negeri, masing-masing di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan.
Baik pemaksaaan ataupun pelarangan jilbab di sekolah negeri sama-sama melanggar aturan karena hak setiap peserta didik untuk menjalankan ketetapan agama yang dianutnya dijamin oleh undang-undang. Hal tersebut juga diatur dalam Permendikbud nomor 45 tahun 2014 tentang seragam sekolah. Beberapa kasus pelarangan jilbab di sekolah terjadi di Indonesia, jauh sebelum tahun 2014 pada sekolah-sekolah di Bali, tahun 2017 di SMAN 1 Maumere, dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari pada tahun 2019. Â
Menangani kasus pemaksaan jilbab dengan memindahkan siswi ke sekolah lain mungkin memang solusi terbaik untuk siswi tersebut, namun tidak menuntaskan akar permasalahan. Peristiwa pemaksaan jilbab ini harus dituntaskan apabila Kemendikbud serius dengan program kebijakan "Merdeka Belajar, Guru Penggerak" yang dicanangkan oleh Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Anwar Makarim. Jangan sampai program tersebut hanya di tataran wacana karena terhambat oleh 3 (tiga) dosa besar dunia pendidikan dalam mengimplementasikannya.Â
Tindakan pemaksaan jilbab terhadap siswi SMAN 1 Banguntapan Yogyakarta melanggar Permendikbud nomor 45 tahun 2014 tentang seragam sekolah, bahwa tidak boleh ada paksaan memakai seragam beratribut agama tertentu di sekolah negeri. Namun juga melanggar Permendikbud No 83 tahun 2015 mengenai Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman.
Merujuk Permendikbud No 83 tahun 2015 yang dimaksud dengan tindak kekerasan sebagaima tertera dalam dalam pasal 1 ayat 1 adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian.
Tindakan pemaksaan jilbab pada siswi SMAN 1 Banguntapan, Yogyakarta menurut saya dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan psikis yang mengakibatkan trauma dan juga melanggar hak siswi untuk berpendapat dan menentukan sikap tanpa paksaan dari pihak manapun yang tentunya bertentangan dengan spirit Merdeka Belajar dimana peserta didik distimulasi untuk dapat membuat keputusan yang bertanggungjawab dan mengembang- kan potensi diri.
Menurut penuturan Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya kepada kumparan.com, pelaku pemaksaan jilbab dapat dikenakan sanksi sesuai PP Nomor 94 tahun 2021 tentang disiplin Pegawai Negeri Sipil. Jika sepakat bahwa tindakan pemaksaan jilbab adalah tindakan kekerasan psikis, maka pelaku tindakan pemaksaan dapat juga dikenakan sanksi berdasarkan pasal 11 Permendikbud No 83 tahun 2015. Â
Di balik pemaksaan jilbab oleh pendidik pasti ada niat baik di sana, namun dalam Islam niat, cara, dan tujuan harus ketiganya baik. Ada satu saja yang tidak baik, dalam hal ini pemaksaan digunakan sebagai cara untuk mencapai tujuan, maka cara menciderai niat baik dan tujuan yang baik.