Mungkin diantara kita sering mendengar kata humanis. Sederhananya adalah kita saling memanusiakan antar sesama manusia. Terkadang, tanpa disadari seringkali ucapan dan perilaku kita tidak mencerminkan perilaku manusia. Tuhan memberikan manusia akal, pikiran dan perasaan. Berbeda dengan binatang yang lebih didominasi nafsunya. Namun terkadang ada perilaku binatang yang justru lebih manusiawi, sementara ada juga perilaku manusia yang cenderung seperti binatang.
Ada binatang yang sangat sayang kepada tuannya. Ada binatang yang sangat melindungi anak-anaknya. Tapi juga manusia yang berperilaku tidak manusiawi kepada anaknya sendiri. Ada manusia yang suka berseteru, hanya karena persoalan yang tidak jelas. Binatang saja ketika berkelahi, selalu ada sebab seperti memperebutkan makanan untuk anaknya atau untuk bertahan hidup. Sementara di zaman modern ini, banyak orang berseteru bahkan berkelahi fisik tidak jelas maksudnya.
Contoh sederhana diatas merupakan hal yang terjadi di sekitar kita. Mari kita introspeksi. Ada dengan kita? Tuhan membekali manusia dengan perasaan, yang harus bisa digunakan untuk saling mengasihi, saling mencintai bukan saling mencaci dan membenci. Jika kita melihat aktifitas di sosial media, membuat kita semua geleng-geleng. Begitu vulgar orang saling mencaci. Begitu mudahnya menyebar video perkelahian, video pembunuhan dan segala macamnya. Padahal, kita adalah manusia yang memiliki perasaan dan akal. Tidak sedikit manusia yang tidak menggunakan akal dan logikanya. Langsung percaya saja dengan apa yang didengar, padahal informasi yang di dengar belum tentu benar.
Pada titik inilah, kita semua perlu melakukan transformasi, dari pola pikir lama ke pola pikir baru. Dari pola pikir yang penuh kebencian menuju pola pikir yang penuh dengan cinta kasih. Dari semangat untuk memukul, berubah menjadi semangat untuk merangkul. Keberagaman di negeri ini tidak perlu selalu dipersoalkan. Karena semuanya itu merupakan pemberian dari Tuhan YME. Tidak ada yang tahu kelau akan terlahir sebagai seorang Jawa, Dayak, atau yang lainnya. Juga tidak ada yang tahu akan terlahir sebagai muslim atau non muslim.
Karena itulah, tak perlu merasa paling benar. Tak perlu pula merasa paling salah. Mari kita menjadi pribadi yang saling memanusiakan. Pancasila mengajurkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Semestinya, kita bisa saling menghargai, saling menghormati, dan saling tolong menolong antar sesama. Semangat bertransformasi cara pandang ini harus kita implementasikan sekarang juga, dan harus ditransformasikan pula pada generasi penerus.
Jika banyak orang yang menyatakan telah hijrah, harus dimulai dari dalam diri dulu. Harus dimulai dari pola pikirnya dulu. Jangan hanya cara berpakaian berubah, tapi ucapan dan tindakannya tetap barbar. Semangat hijrah yang berorientasi pada cara pandang yang humanis, harus disebarluaskan ke semua orang. Hal ini penting agar penyebaran bibit kebencian, bibit radikalisme di tengah masyarakat bisa diminimalisir. Karena persoalan politik identitas dan radikalisme agama, masih menjadi persoalan bagi Indonesia.
Dan dalam konteks pandemi, transformasi cara pandang ke arah yang lebih humanis juga diperlukan, agar kita bisa bertumpu pada akal sehat dan sains. Karena pandemi tidak bisa dihadapi dengan kebencian, tapi harus dihadapi dengan literasi agar kita punya banyak referensi. Agar kita mempunyai pemahaman tentang kesehatan dan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H