Tidak sedikit dari kebijakan negara ini berhubungan dengan urusan keagamaan. Salah satu kebijakan negara yang berhubungan dengan keagamaan dan menjadi perbincangan adalah persoalan haji. Karena pandemic, 2 tahun terakhir ini tidak ada Jemaah haji asal Indonesia yang berangkat ke Arab Saudi.Â
Dua tahun lalu, pemerintah Arab Saudi menutup akses warga negara asing masuk karena pandemi. Dan tahun ini, pemerintah Arab hanya memberikan izin bagi 11 negara, yang boleh masuk ke Arab Saudi. Dan Indonesia, menjadi salah satu negara yang belum boleh masuk.
Beberapa pekan lalu, pemerintah Indonesia akhirnya memutuskan untuk membatalkan jemaah haji ke Arab Saudi pada 2021 ini. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian, keamanan dan keselamatan masyarakat. Dengan adanya pembatalan ini, masyarakat tidak akan lagi menunggu hal yang tidak pasti. Dan dengan adanya pembatalan ini, setidaknya potensi terpaparnya covid-19 bisa berkurang.
Sayangnya, keputusan ini justru disikapi oleh sebagian orang dengan respon yang negatif. Provokasi terus bermunculan. Ada yang menilai pemerintah Indonesia tidak mampu melakukan negosiasi, tidak ada keberpihakan dengan umat muslim, dan masih banyak lagi tuduhan yang mendiskreditkan pemerintah.Â
Belakangan ada juga yang menghembuskan bahwa dana Jemaah haji digunakan untuk pembangunan infrastruktur, yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Ironisnya, tuduhan-tuduhan itu justru dikeluarkan oleh tokoh masyarakat atau publik figure.
Ironis memang. Pemerintah sendiri telah membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa dana para Jemaah aman. Bahkan, para Jemaah yang tidak bisa berangkat tahun ini, bisa mengambil uangnya dan tetap menjadi jemaah prioritas di tahun 2022 mendatang. Keputusan ini dilakukan agar masyarakat yang telah mendaftar, tidak kehilangan hak tunggunya. Karena kita tahu, daftar tunggu ibadah haji di Indonesia sudah mencapai belasan tahun.
Dalam menyikapi setiap informasi, semestinya kita bisa lebih bijak. Para pihak juga harus bisa memposisikan dirinya sesuai dengan porsinya. Jika tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh politik, tokoh adat atau tokoh yang lain, harus bisa memberikan tauldan bagi masyarakat. Harus memberikan arahan agar masyarakat tidak tersesat. Tidak boleh memberikan pernyataan yang menyesatkan, apalagi cenderung provokatif.
Ingat, alasan pembatalan ini tidak hanya karena persoalan covid-19. Jangan pelintir kekecewaan sejumlah masyarakat untuk menyerang pemerintah. Jangan pula gunakan kekecewaan masyarakat tersebut dengan menebar provokasi, agar terus membenci pemerintah. Jika pemerintah salah memang harus dikritisi. Tapi jika bentuk kritik tersebut dibelokkan dengan untuk menebar kebencian, tentu tidak benar.
Pemerintah punya kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan, meski kebijakan tersebut tidak popular. Pemerintah juga punya tanggung jawab untuk memastikan segala kepentingan public dan hak masyarakat sesuai haknya. Dan yang lebih urgent, pemerintah harus berlaku adil bagi seluruh rakyat Indonesia.Â
Bentuk pembatalan ini bukanlah pelarangan. Tapi lebih dalam konteks pencegahan. Jika pandemi tidak segera berhenti, dampaknya tidak hanya mengganggu perekonomian, tapi juga membuat kita semua sengsara. Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H