Tak dipungkiri perkembangan teknologi telah memudahkan seseorang untuk melakukan segala aktifitasnya. Termasuk salah satunya dalam hal berdakwah. Dulu dakwah harus dilakukan di ruangan besar dengan mengumpulkan banyak orang, kini dakwah bisa dilakukan dari rumahnya masing-masing. Hanya dengan menggunakan smartphone dan jaringan internet, dakwah bisa dilakukan. Terlebih di masa pandemi ini, aktifitas yang mengundang kerumunan dibatasi untuk meredam penyebaran virus covid-19.
Dakwah secara virtual memang sangat evisien. Orang dari mana-mana bisa menikmatinya. Sayangnya tidak sedikit dari praktek ini disalahgunakan untuk menyebarkan pesan-pesan yang tidak baik. Beberapa waktu lalu Ketum NU Said Aqil Siradj mengusulkan kepada pemerintah untuk menutup situs-situs yang dikelola oleh kelompok wahabi. Alasannya dalam situs tersebut mengajarkan paham-paham yang bisa mendekatkan diri dengan praktek radikalisme dan terorisme. Betul mereka bukanlah teroris, namun ajaran yang disebarluaskan melalui media sosial, dakwah-dakwah yang disebarkan melalui dunia maya, cenderung dekat dengan bibit intoleransi, radikalisme dan terorisme.
Penutupan situs ini memang tidak begitu saja menyelesaikan masalah. Karena hal ini berhubungan dengan keyakinan. Untuk itulah penting juga bibit provokasi harus dilawan dengan bibit toleransi. Bibit kebencian harus dilawan dengan cinta kasih. Ingat, kita adalah negara yang sangat majemuk. Sudah semestinya antar sesama bisa saling menghargai. Sudah semestinya bisa saling berdampingan dalam keberagaman. Karena kita Indonesia, maka bersatu dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia penting dilakukan.
Seringkali kelompok wahabi membenturkan antara agama dengan negara dan budaya. Akibatnya, politik identitas terus menguat di masyarakat. Ideologi takfiri yang dibawa membuat para pengikutnya lebih senang mengkafirkan orang lain. Orang yang berbeda pandangan dianggap salah bahkan sesat. Bagi masyarakat yang tingkat literasinya rendah, dikhawatirkan akan mudah terbujuk oleh kelompok ini karena seringkal melontarkan kebencian dengan dibungkus agama.
Padahal agama apapun yang ada di bumi ini, membawa nilai-nilai perdamaian. Dan bentuk perdamaian itu bisa diimplementasikan dalam berbagai hal, termasuk ucapan dan perilaku. Jika memang kita meyakini nilai-nilai agama, semestinya perilaku kita pun juga mencerminkan nilai-nilai agama yang kita yakini. Jika ada dakwah yang siifatnya menyerang, mengandung propaganda negative, dikit dikit mengkafirkan orang lain, maka tinggalkanlah. Dan pemerintah harus menutup akses dakwah semacam ini, karena berpotensi merusak toleransi yang telah terbangun.
Tidak hanya wahabi, siapapun itu, jika secara vulgar menyebarkan propaganda kebencian di media sosial harus ditinggalkan. Jangan jadikan akun atau situs yang dikelola kelompok wahabi ini sebagai rujukan. Mari kita tetap merujuk pada ajaran kitab suci, nilai-nilai kearifan lokal dan paham kebangsaan yang telah diajarkan para pendahulu. Indonesia tidak akan berkembang menjadi negara besar, jika masyarakatnya terus saling curiga satu dengan lainnya. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H