Mohon tunggu...
Akmal Husaini
Akmal Husaini Mohon Tunggu... Wiraswasta - suka menjaga kebersihan

kebersihan sebagian dari iman. Karena itulah jadilah pribadi yang bersih

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sepakat untuk Menolak Eks ISIS

13 Februari 2020   07:14 Diperbarui: 13 Februari 2020   07:20 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakang pembicaraan mengenai WNI Eks ISIS kembali mengemuka. Tidak hanya menjadi pembicaraan di jagad maya, banyak media yang ramai menulis isu ini. Ada wacana pemulangan 600 WNI eks ISIS yang saat ini kondisinya terlunta-lunta paska jatuhnya ISIS beberapa tahun lalu. Mereka semua adalah WNI yang bergabung dengan ISIS, ketika kelompok ini berhasil menguasai sebagian wilayah Suriah. 600 orang ini, infonya didominasi perempuan dan anak-anak.

Jika dilihat dari kacamata hak asasi manusia, para perempuan dan anak-anak ini memang perlu mendapatkan perhatian. Dan negara wajib memberikan perhatian warga negaranya. Namun, jangan lupa bahwa mereka semua sudah terpapar dan terdoktrin paham kekerasan. Membunuh merupakan hal biasa. Meledakkan diri sudah menjadi doktrin yang mereka pahami sejak kecil. Mereka juga mahir menggunakan senjata.

Ketika itu, ISIS memang sudah mulai menggunakan perempuan dan anak kecil untuk melancarkan aksi terornya. Ironisnya, ada juga anak-anak asal Indonesia yang dilatih untuk hal ini. Beberapa tahun lalu sempat viral anak-anak yang dilatih ala militer, dan dipersenjatai dengan senjata laras panjang. Dalam video tersebut juga disertai aksi pembakaran paspor Indonesia. 

Sebelumnya, anak 12 tahun asal Indonesia yang berdama Hatf, juga sempat menjadi perbincangan, karena menjadi kombatan ISIS. Anak dari Brekele, terpidana bom rakitan di pasar Tentena, Poso Sulawesi Tengah ini akhirnya tewas, meski dipersenjatai senjata AK-47, granat dan pisau komando.

Dalam kacamata HAM, anak-anak itu memang merupakan korban dari para orang tuanya. Tapi ketika doktrin yang salah itu telah masuk dan dianggap sebagai sebuah kebenaran dan perintah, tentu ini sangat mengerikan. 

Jihad bukanlah dilakukan dengan cara saling membunuh antar sesama manusia. Mungkin kita masih ingat bagaimana seorang ibu mengajak anak-anaknya yang masih belia, untuk menjadi pelaku peledakan bom di Surabaya beberapa tahun lalu. Aksi ini tentu sangat menakutkan.

Lalu kenapa semua sepakat menolak eks ISIS? Karena mereka telah meyakini ideologi kekerasan tersebut. Karena mereka menilai pihak yang berbeda sebagai kafir dan wajib untuk mendapatkan hukuman kekerasan, bahkan dibunuh. 

Sementara Indonesia adalah negara yang penuh dengan keberagaman. Artinya, perbedaan itu menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Jika perbedaan ini dianggap sebagai sebuah persoalan, sebuah kesalahan, lalu mendapatkan label kafir atau semacamnya, tentu hal ini tidak dibenarkan.

Disamping itu, kepulangan eks ISIS ini juga bisa berpotensi membangunkan sel-sel teroris di Indonesia. Tak dipungkiri, banyak jaringan teroris di Indonesia yang masih berkeliaran. Salah satunya kelompok JAD yang sempat aktif melancarkan serangkaian aksi teror di Indonesia. 

Sepakat menolak eks ISIS adalah sebuah pilihan yang mungkin tepat untuk saat ini. Penolakan berbagai pihak untuk menolak kepulangan eks ISIS ke Indonesia, menjadi hal yang tepat untuk saat ini. Semoga hal ini bisa jadi introspeksi buat kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun