Suka tidak suka, radikalisme masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Radikalisme terus menyusup di sendi-sendi masyarakat. Dalam beberapa tahun kebelakang misalnya, radikalisme telah menyusup ke institusi pemerintahan, lembaga pendidikan, bahkan aparat negara ataupun kepolisian juga ada oknum yang terpapar radikalisme. Di tahun politik kemarin saja, kelompok radikal telah berhasil memanfaatkan momentum politik untuk menunjukkan eksistensinya. Bahkan, tidak sedikit dari elit politik yang terprovokasi ikut menebar bibit kebencian. Padahal, bibit kebencian itu berpotensi memunculkan intoleransi. Sementara intoleransi bisa berujung pada radikalisme. Dan radikalisme merupakan akar dari terorisme.
Bibit radikalisme memang telah ada di Indonesia sejak dulu. Bahkan sejak pemberontakan DI/TII dan NII pada masa awal kemerdekaan, bibit radikalisme telah ada. Gerakan itu kemudian terus berkembang, sampai akhirnya melahirkan berbagai aksi teror di era 2000 an dan melahirkan bom bali I yang membuat banyak orang meninggal dunia.
Kini, radikalisme dan terorisme terus menyesuaikan perkembangan zaman. Di era milenial ini, pola penyebaran paham radikal tentu berbeda dengan era sebelumnya. Saat ini, media sosial menjadi sarana yang paling efektif untuk merekrut, mencari pendanaan, termasuk menyebarkan propaganda radikalisme.
Ada sebuah riset yang menyebutkan ada sekitar 120 juta pengguna media sosial di Indonesia. Sebagian besar dari angka tersebut didominasi anak muda atau generasi milenial. Apa artinya? Generasi milenial menjadi target bagi kelompok radikal untuk menjadi korban. Dan generasi milenial rawan terpapar propaganda radikalisme, yang saat ini terus dikemas sedemikian rupa menyesuaikan perkembangan zaman.
Bahkan, kita kadang sulit membedakan mana informasi hoaks dan mana bukan. Apalagi ketika informasi itu dibungkus dengan nilai-nilai keagamaan yang dibalut kebencian, orang akan mudah percaya. Dan tanpa sadar, bibit kebencian itu terus menyebar seiring munculnya fenomena sharing tanpa saring.
Jika kita melihat data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tentu membuat kita miris. Disebutkan bahwa pelaku terorisme saat ini terbesar berpendidikan SMU sebesar 63,3 persen, lalu perguruan tinggi sebesar 16,4 persen, SMP sebesar 10,9 persen, tidak lulus perguruan tinggi sebesar 5,5 persen dan lulusan SD sebesar 3,6 persen. Sementara, jika dilihat dari sisi umur, pelaku terbesar didominasi usia 21-30 tahun sebesar 47,3 persen, lalu usia 31-40 tahun sebesar 29,1 persen. Sementara diatas 40 tahun dan dibawah 21 tahun, masing-masing sebesar 11,8 persen.
Angka-angka diatas mengkonfirmasi bahwa generasi muda memang menjadi target. Lalu, bagaimana mencegahnya? Salah satunya dengan cara menguatkan literasi media. Cek riceklah setiap informasi yang ada ke sumber yang tepat. Mulailah mempelajari ajaran agama secara benar dan bisa melihat berdasarkan konteksnya.
Berpikirlah terbuka, jangan merasa paling benar sendiri dan memandang orang lain sebagai pihak yang salah. Tanamkan nilai-nilai kearifan lokal dalam setiap perilaku dan ucapan di kehidupan nyata ataupun maya. Dan jika kita bisa melakukan pencegahan, harus ditingkatkan lagi menjadi level melawan. Yaitu, aktif menyebarkan pesan perdamaian di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H