Mungkin banyak yang bertanya, apakah benar radikalisme telah menyebar ke dunia maya, ke media sosial, ke grup pesan berantai? Sejak ISIS diambang kehancuran, pemimpinnnya ketika itu telah memerintahkan kepada para pengikutnya, untuk menguasai media sosial. Dengan menggunakan media sosial, mereka akan bisa dengan mudah menebar teror, menebar propaganda radikalisme, merekrut anggota baru, bahkan mencari sumber pendanaan, Dan praktek semacam itu masih terjadi hingga saat ini.
Bukti yang terbaru adalah ketika seorang pemuda berinisial RA, mencoba meledakkan dirinya di pos polisi Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Pria yang masih berusia sekitar 22 tahun itu, ternyata merupakan simpatisan ISIS dan telah berbaian ke Abu Bakar al Baghdadi sejak 2018 silam.
Setelah berbaiat, dia aktif melakukan komunikasi dengan kelompok ISIS. Dia pun akhirnya belajar merakit bom secara online. Hasilnya, bom yang dia rakit gagal meledakkan dirinya di penghujung Ramadan kemarin.
Sebelumnya juga terjadi percobaan bom bunuh diri yang dilakukan IAH. Pemuda ini ingin meledakkan dirinya di dalam gereja Santo Yosep, Medan, Sumater Utara. Rencana peledakan itu gagal, karena bom yang dirakit terbakar sebelum diledakkan. Dan ternyata, IAH juga terpapar radikalisme melalui dunia maya, sampai akhirnya memutuskan menjadi simpatisan ISIS.
Apa yang terjadi pada diri RA dan IAH bukan tanpa sengaja. Mereka memutuskan untuk meradikalisasi dirinya sendiri. Masuknya paham radikal ke dalam pemikiran keduanya, merupakan bukti bahwa radikalisme online tidak bisa dianggap remeh. Ketika propaganda begitu massif disebar, setiap hari, setiap jam, setiap detik, maka akan semakin sering intensitas paham radikalisme itu masuk ke dalam pikiran.
Dan ketika sudah masuk, kemudian diharapkan pada provokasi yang begitu massif, ujaran kebencian yang taka da hentinya, ditambah informasi hoaks yang dikemas seolah-olah merupakan informasi yang benar, akan membuat radikalisme dan intoleransi terus tumbuh subur.
Mungkin ditahap awal baru sebatas terpapar. Namun ketika terus menerus membiarkan dirinya menerima pesan-pesan provokatif, tidak menutupkan kemungkinan akan bisa berkembang pada tahap tindakan.
Dan jika sudah pada tahap tindakan, disinilah potensi aksi terorisme itu akan terjadi. RA dan IAH merupakan salah satu generasi muda yang memilih melakukan aksi teror, setelah sekian lama terprovokasi paham radikalisme.
Meski pun gagal, orang-orang yang mempunyai tipikal seperti RA dan IAH ini yang berbahaya. Mereka bukan merupakan jaringan terorisme secara langsung, tapi karena salah pergaulan, akhirnya meradikalisasi dirinya sendiri. Dan orang-orang semacam ini bisa nekad melakukan aksi peledakan secara sendiri, atau yang biasa dikenal dengan istilah lone wolf. Dan para pelaku lone wolf, umumnya mengenal radikalisme dari dunia maya. Dan fenomena lone wolf yang terpapar melalui dunia maya ini, tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di seluruh negara.
Karena itulah, pentingnya komitmen untuk saling mengingatkan, saling mengawasi, dan saling menebar kedamaian. Upaya menebar kedamaian ini harus diimplementasikan dalam setiap ucapan dan tindakan. Perpaduan keduanya akan membuat lingkungan menjadi toleran, terbuka, dan menghargai keragaman.
Sebagai warga negara Indonesia, hidup dalam keragaman merupakan keniscayaan. Jika masih ada pihak-pihak yang mempermasalahkan perbedaan, mereka kurang memahami budaya Indonesia yang sesungguhnya.