Tahun politik di Indonesia sudah mendekati penghujung. Sebentar lagi masyarakat Indonesia akan memanfaatkan hak pilihnya, dalam pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan calon legislative, pada April 2019 mendatang. Dan saat ini, telah memasuki masa kampanye. Debat perdana pun baru saja dilakukan pada 17 Januari yang lalu. Dan seperti biasa, debat ini mengundang pendapat yang pro dan kontra diantara para pendukung. Ada yang positif, tapi tidak sedikit pula yang negatif. Sebenarnya positif ataupun negatif, sepanjang didasarkan pada fakta dan data dan tahu sampai mana kita memperdebatkan, tidak menjadi persoalan. Namun yang menjadi masalah jika perdebatan itu dilandasi pada informasi yang salah dan kebencian, ini yang mengkhawatirkan.
Banyak yang menilai perdebatan perdana kemarin, kurang menarik, kurang klimaks, hanya normative, dan masih banyak lagi pendapat masyarakat. Pendapat itu kebanyakan justru ramai di media sosial. Wajar, eranya pilpres saat ini eranya milenial. Wajar pula jika respon yang banyak berada melalui media sosial. Melalui media sosial semua orang bisa dengan bebas menyampaikan uneg-unegnya. Warganet juga bebas berekspresi dengan cara mereka. Jika para pendukung paslon ini sudah terpapar kebencian, maka setiap pernyataan yang diunggah, akan cenderung menyudutkan, menjelekkan, dan tidak obyektif. Jika para pendukung lawan tidak terima, disinilah perdebatan itu akan dimulai. Bayangkan jika perdebatan itu memperdebatkan informasi bohong?
Jadilah warganet yang cerdas, yang membekali diri dengan informasi yang falid dan tepat. Dengan menjadi generasi yang cerdas, maka kita tidak akan mudah terombang-ambing oleh informasi yang membingungkan. Dengan menjadi pribadi yang cerdas, kita tidak akan mudah terprovokasi oleh isu SARA ataupun isu lain yang sengaja dihembuskan, untuk membuat kegaduhan. Mari kita saling mengingatkan, bahwa kita adalah warga negara Indonesia, yang menjunjung tinggi Pancasila. Jika kita memang memahami nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila, maka setiap perdebatan tetap akan mengedepankan obyektivitas dan kesantunan. Sikap saling menghargai akan tetap ada, karena pada dasarnya memanusiakan manusia merupakan karakter kita sebagai warga Indonesia.
Para pendahulu mengajarkan bagaimana bertutur kata yang santun. Dalam debat-debat berikutnya, para pasangan calon capres dan cawapres, juga harus menggunakan pilihan kata dan gaya bahasa yang tepat. Selain memudahkan masyarakat mengerti, juga tidak berpotensi membuat orang tersinggung. Tidak boleh menggunakan kata yang kasar, arogan, tidak menyerang pribadi paslon, dan tidak mendiskreditkan paslon. Lontarkanlah kritik dengan santun, bijak dan elegan. Hal ini penting, karena debat disaksikan secara langsung oleh jutaan orang yang menjadi pendukung masing-masing paslon. Untuk itulah penting kiranya bagi pasangan calon bisa memberikan contoh yang baik kepada para pendukungnya.
Begitu juga dengan para warganet juga harus tetap mengedepankan kesantunan, dalam mengkritik pihak lawan. Dalam iklim negara demokrasi, berdebat dan berargumen merupakan hal yang wajar. Bahkan hal itu diperlukan untuk kedewasaan demokratisasi itu sendiri, sepanjang dilengkap dengan data yang akurat. Jadi perdebatannya pun ada manfaatnya. Bukan memperdebatkan pepesan kosong yang tidak ada artinya. Ingat, berdebat tidak dengan emosi. Berdebatlah secara bermartabat dengan tetap mengedepankan etika dan kesantunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H