Tak dipungkiri, selama 2018 silam, penyebaran hoax dan ujaran kebencian begitu mengkhawatirkan. Semua orang bisa langsung share tanpa melakukan saring terlebih dulu. Apalagi jika informasi tersebut disebarkan oleh tokoh masyarakat, tokoh politik atau tokoh agama, publik pun langsung mempercayainya. Padahal, bisa jadi informasi yang disebarkan para tokoh tersebut belum tentu kebenarannya. Karena ditahun politik ini berbagai kepentingan muncul untuk bisa menang dalam kontestasi politik. Kasus hoax Ratna Sarumpaet mungkin bisa menjadi contoh yang paling gamblang hoax dan kebencian menjadi satu.
Di awal 2019 ini, mari kita berkomitmen untuk tidak lagi menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Karena dampak dari hoax dan kebencian itu sungguh mengerikan.
Bayangkan, diantara kita bisa saling membenci hanya karena beda pilihan politik. Sementara pendidikan politik yang semestinya menjadi tugas elit dan partai politik, praktis belum terlihat hingga saat ini. Kampanye yang muncul hingga saat ini tak lebih dari saling hujat dan mencari kejelekan, saling sindir, dan belum menyentuh hal yang substansial.
Sementara, pemilu mendatang merupakan ajang untuk mencari pemimpin yang akan membawa negeri ini menuju kemajuan atau sebaliknya. Semestinya, kampanye saat digunakan untuk menguji ide dan gagasan program yang ditawarkan. Namun, hal tersebut belum terlihat.
Lalu, mau sampai kapan kita saling membenci untuk kepentingan yang sesaat? Mari kita belajar dari pemilihan kepala daerah tahun kemarin. Lihat pilkada DKI Jakarta yang telah mampu membelah nilai-nilai toleransi setelah munculnya sentimen SARA. Jika dulu muncul istilah penista agama, sekarang kembali muncul partai penista agama.
Sistem demokrasi seperti inikah yang kita inginkan? Kenapa agama dibawa-bawa untuk urusan politik? Biarkanlah agama berada di wilayah netral, yang bisa jadi penuntun bagi para umat yang ingin berada di jalan Tuhan. Jangan jadikan agama untuk mencari simpati demi kepentingan politik, apalagi untuk menebar kebencian kepada seseorang atau kelompok tertentu.
Para partai politik, elit politik, para timses, buzzer dan pihak-pihak yang berada dibalik dinamika pilpres dan pileg 2019 ini, juga harus berkomitmen untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Masyarakat yang akan mempunyai hak pilih, juga harus mampu menjadi pemilih yang cerdas dan logis. Jangan mau diprovokasi dengan informasi yang menyesatkan atau sentimen SARA.\
Masyarakat juga harus aktif melawan hoax dan ujaran kebencian ini dengan menebarkan pesan-pesan damai. Jangan bayiarkan negeri yang damai dan kaya akan segalanya ini, hancur karena kebencian masyarakatnya sendiri.
Indonesia adalah negara besar, dengan keragaman budaya, sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah. Para generasi milenial dan generasi sebelumnya, juga harus bergandengan tangan untuk membawa Indonesia menjadi negara yang besar. Para pempin yang terpilih dalam pilpres dan pileg, juga harus memberikan kontribusi positif bagi negeri.
Indonesia yang damai harus tetap menjadi negara yang toleran, yang menghargai keberagaman. Dan untuk mewujudkan hal tersebut tentu tidak bisa sepenuhnya berharap dari pemimpin atau calon pemimpin mendatang. Kita semua harus bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban untuk tetap menjaga persatuan, kesatuan, dan kedamaian Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H