Beberapa waktu lalu, sebuah lembaga bernama Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melakukan riset di 100 masjid di lingkungan pemerintah. Antara lain di Kementrian, BUMN dan lembaga pemerintah lainnya. Mereka ingin mengetahui bagaimana isi ceramah di masjid-masjid pemerintah itu.
Mereka mengambil contoh ceramah dengan merekam, mengambil video dan selebaran yang dibagikan saat ceramah. Setelah beberapa waktu terdapat ratusan sample ceramah untuk ditelaah isinya.
Isi ceramah yang berhasil dikumpulkan itu dianalisis oleh para expert. Seperti para akademisi mereka punya sudah punya parameter tersendiri untuk mengklasifikasi bagaimana isi ceramah itu. Â Ada klasifikasinya juga. Apakah sangat radikal atau biasa saja. Mereka membaginya pada unit-unit analisis yang bisa mereka pertanggungjawabkan. Para ekspert itu biasa melakukan riset di beberapa lembaga resmi, termasuk akademis.
P3M sendiri sadar akan kemungkinan sanggahan beberapa pihak soal disinisi radikal yang mereka rilis sebagai hasil studi. P3M mendifinisikan radikal sebagai upaya untuk melakukan perubahan dengan mengabaikan kelompok yang berbeda (pendapat) dan konstitusi.
Penelitian itu menemukan bahwa sekitar 41 dari 100 masjid yang diteliti masuk dalam kategori radikal dengan versi tertentu. Angka ini harus diwaspadai karena bisa dikatakan cukup tinggi. Jumlah masjid di Indonesia munglin berjumlah jutaan , dari Sabang sampai Merauke mengingat sebagian besar penduduk Indoensia adalah muslim (82,5 %)
Terlepasa dari pro dan kontra atas hasil penelitian itu, jumlah itu layak dicermati. Tak perlu ada yang tersinggung terhadap hasil penelitian itu. Karena kemungkinan beberapa masjid menjadi radikal karena tidak adanya supervisi secara rutin oleh berwenang.
Masjid memang masuk dalam Dewan Masjid Indonesia (DMI) tapi dewanitu tak punya mekanisme yang rapi untuk mengatur dan mengawasi isi atau konten ceramah yang disampaian penceramah masjid pada hari Jumat.Â
Ini jelas terlihat saat menjelang Pilkada Jakarta, dimana para penceramah bebas memakai mimbar dan pengeras suara untuk menyerukan ujaran kebencian terhadap seseorang. Dengan kata lain mimbar telah diselewengkan untuk politik praktis.
Padahal jika kita telaah, sebenarnya mimbar rumah ibadah harusnya bebas dan lepas dari kepentingan. Isi khotbah harusnya benar-benar berdasarkan ajaran nabi dan Al Quran yang akan selalu memberikan kedamaian bukan pertikaian dan rasa marah.
Sama halnya dengan ormas HTI atau perguruan tinggi yang ditengarai menyebarkan ajaran radikal, pihak pengelola merasa tersinggung dan mencari pembenar dari masyarakat. Padahal pada kenyataannya, ormas HTI memang mengandung pengaruh ajaran yang tidak sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.Â
Begitu juga perguruan tinggi. Beberapa perguruan tinggi semula marah dengan tudingan kampus radikal , tapi pada kenyataannya aparat menemukan bom , para dosen yang nyata mengajarkan radikalisme dan pelaku bom Surabaya yang merupakan lulusan perguruan tinggi.
Tulisan ini hanya utnuk mengajak kita mencermati kembali maksud baik pemerintah dibalik pengumuman hasil penelitian itu. Bisa saja angkanya tak sebesar itu , atau malah lebih tinggi? Kita tentu tak mau agama dibelokkan keluar konteks keagaamaan itu sendiri. Karena itu be positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H