Siapa yang tak suka hidup dalam kondisi damai. Siapa pula yang tak suka, semua orang bisa hidup berdampingan tanpa ada caci maki. Dan siapa yang tidak menghendaki, suasana kehidupan penuh kerukunan dan toleransi.Â
Namun, kondisi ini nampaknya mulai berubah di tahun politik seperti sekarang ini. Jelang pemilihan legislatif, presiden dan wakil presiden pada 2019 mendatang, berita bohong terus menyebar demi untuk bisa mendapatkan simpati publik.Â
Bibit kebencian sengaja dimunculkan untuk menjatuhkan elektabilitas pasangan calon. Dan jika kondisi ini terus dibiarkan, keinginan untuk bisa mendapatkan kondisi yang penuh kedamaian akan sulit diwujudkan.
Memang, menjdi tugas kita bersama untuk terus menjaga kedamaian di negeri ini. Juga menjadi tugas kita, untuk bisa mewujudkan pemilu yang damai dan jauh dari segala bentuk kecurangan. Sayangnya, tidak sedikit dari oknum masyarakat justru memanfaatkan tahun politik ini untuk kepentingan yang tidak sehat.Â
Selain untuk meraup sejumlah rupiah, kepentingan tersebut juga bisa berdampak pada terganggunya kerukunan antar masyarakat. Kepentingan yang dimaksud adalah munculnya berita bohong dan kebencian yang sengaja dipesan oleh oknum elit partai atau orang tertentu, yang menginginkan paslon yang diusung menang. Cara semacam ini semestinya tidak lagi terjadi dalam pemilihan wakil rakyat dan pemimpin negeri.
Keberadaan hate speech dan hoaks ini memang mengkhawatirkan. Kondisi ini semakin runyam ketika teknologi mulai dimanfaatkan, untuk penyebaran konten negatif ini. Akibatnya, generasi milenial yang memang begitu dekat dengan gadget, berpotensi menjadi korban provokasi jika tidak membekali dirinya dengan informasi yang valid.Â
Padahal, sekitar 40 persen calon pemilih dalam pemilu 2019 mendatang adalah generasi milenial. Untuk itulah, mari kita beri informasi yang utuh dan membangun. Tim sukses diharapkan bisa beradu ide dan gagasan, agar calon pemilih baru ini bisa mendapatkan hal yang positif dalam perhelatan demokrasi ini.
Mari kita belajar dari sejarah. Pesan kebencian yang muncul untuk kepentingan politik, akan memberikan dampak negatif ke masyarakat.Â
Dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, masifnya hate speech dan hoaks telah membuat masyarakat terprovokasi. Apalagi sentimen SARA ketika itu begitu kuat, membuat masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit.Â
Pilkada DKI harus jadi pembelajaran buat kita semua. Tidak ada gunanya menebar kebohongan dan kebencian, untuk menjatuhkan elektabilitas. Mari beradu ide dan gagasan, agar pemilihan presiden, wakil presiden dan legislatif nanti bisa bisa lebih bermakna.
Mendorong pemilu damai jangan hanya sebatas slogan saja. Mendorong pemilu damai, harus menjadi komitmen bersama. Tidak hanya bagi penyelenggara pemilu, tapi juga parpol, paslon, timses hingga masyarakat yang akan menjadi calon pemilih.Â