Hidup damai tentu menjadi keinginan semua pihak. Tidak ada perang, tidak ada konflik, tidak ada kebencian, dan tidak ada saling caci maki. Yang ada semuanya hidup saling berdampingan dalam keberagaman. Dan orang tua kita, sedari kecil sudah mengajarkan bibit-bibit perdamaian ini. Jika kita sedang nakal dengan teman sekolah, teman bermain atau tetangga, orang tua mengajarkan untuk selalu meminta maaf.Â
Sikap ini tidak hanya sebagai bentuk pengakuan atas sebuah kesalahan, namun juga merupakan bentuk dari bibit perdamaian. Bayangkan jika sedari dini kita tidak diajarkan untuk meminta maaf, dan dibiarkan memelihara kekesalan, tentu yang lahir adalah bibit kebencian yang bisa memicu terjadi perilaku intoleran.
Saling meminta maaf merupakan bentuk edukasi perdamaian yang ada dalam budaya Indonesia. Di lingkup keluarga, budaya meminta maaf juga sering kita temukan. Jika kakak melakukan kesalahan kepada adiknya, atau sebaliknya, mereka saling meminta maaf.Â
Dalam lingkup pendidikan, antar siswa dengan siswa, antar siswa dengan guru, juga melakukan permintaan maaf ketika melakukan kesalahan. Dalam adat istiadat, bibit perdamaian juga bisa kita lihat. Salah satunya adat istiadat yang berlaku di Papua. Jika ada salah satu suku terlibat perang, setelah itu mereka harus menggelar upacara bakar batu, sebagai simbol mereka telah berdamai. Bahkan, dalam Islam pun, juga ada tradisi saling meminta maaf ketika Idul Fitri. Hal ini menjadi bukti, bahwa meminta maaf bisa menjadi bibit perdamaian.
Saat ini, kita hidup di era milenial. Era ketika teknologi informasi menjadi hal yang sangat krusial. Dunia menjadi hal yang sangat penting di era milenial ini. Internet tidak hanya memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi, tapi juga memudahkan dalam melakukan setiap aktifitas. Bahkan praktek jual beli pun juga mulai marak dilakukan di dunia maya.Â
Lalu, apakah interaksi yang terjadi di dunia maya ini juga mengedepankan bibit perdamaian? Umumnya, interaksi di dunia nyata juga sangat mengedepankan keberagaman seperti di dunia nyata. Namun, kemunculan ujaran kebencian yang begitu masif di dunia maya, membuat semua pihak khawatir.
Kekhawatiran ini mungkin tidak berlebihan. Karena saat ini tidak hanya ujaran kebencian yang begitu masif, informasi menyesatkan seperti berita bohong juga ikut meningkat. Bahkan untuk kepentingan tertentu, terkadang suka disusupi sentimen SARA. Akibatnya, masyarakat berpotensi saling membenci satu sama lain. Jika kebencian ini terus diprovokasi dengan berita bohong, maka konflik masyarakat pun bisa sewaktu-waktu terjadi.Â
Dalam kasus pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara tahun kemarin, tidak bisa dilepaskan peran dari hoax di dunia maya, yang kemudian memicu terjadinya kemarahan publik.Â
Pilkada DKI dan pilkada serentak kemarin, juga masih diwarnai berita hoax dan ujaran kebencian. Dan jelang pilpres dan pileg pada 2019 mendatang, bibit kebencian ini diperkirakan kembali marak di dunia maya.
Lalu, dimana bibit perdamaian yang diajarkan para orang tua kita sejak dulu? Dimana bibit perdamaian yang selalu diajarkan para guru kita? Dan di mana bibit perdamaian yang masih dipegang teguh masyarakat adat kita? Kenapa hanya karena provokasi, bibit perdamaian itu kian memudar di era kemajuan teknologi ini? Mari kita introspeksi.Â
Ingat, bibit perdamaian tidak hanya perlu diyakini, tapi juga perlu diimpelementasikan dalam setiap perkataan dan perilaku. Bibit perdamaian juga harus disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri, ke seluruh pelosok dunia maya, agar bibit kebencian yang masih ada bisa pelan-pelan memudar dan menghilang. Salam.