Dalam ruang diskursus intelektual, kritik seharusnya menjadi bagian yang inheren dalam membangun gagasan, memperkaya perspektif, serta mendorong kualitas berpikir yang lebih tajam. Kritik yang sehat tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran yang menuntun individu menuju kedewasaan intelektual. Namun, ada fenomena yang berseberangan dengan semangat keterbukaan ini-sebuah kecenderungan untuk menyampaikan kritik di ruang tertutup, di antara percakapan terbatas, tanpa keberanian untuk mengartikulasikannya secara langsung kepada pihak yang menjadi subjek kritik tersebut.
Fenomena ini mencerminkan sebuah paradoks dalam ranah akademik dan profesional: sikap yang tampak lantang dalam ketiadaan pihak yang dikritik, namun menguap ketika kesempatan untuk berdialog secara langsung terbuka. Sikap semacam ini tidak hanya menghambat terbentuknya ruang diskusi yang sehat, tetapi juga melahirkan budaya intelektual yang rapuh-sebuah lanskap yang diwarnai oleh bisik-bisik di belakang, tetapi sunyi dari keberanian berargumentasi secara terbuka.
Jika kritik dilakukan dalam ruang yang tidak memungkinkan dialog dan pembelaan diri dari pihak yang dikritik, maka kritik tersebut kehilangan esensinya sebagai sarana perbaikan. Alih-alih membangun atmosfer akademik yang progresif, sikap ini justru melahirkan suasana yang penuh dengan kecurigaan dan ketidakjujuran intelektual. Kritik yang tidak disampaikan secara langsung bukanlah upaya pencerdasan, melainkan sekadar bentuk ekspresi frustrasi yang mandul dari nilai-nilai akademik yang seharusnya menjunjung tinggi transparansi dan keberanian berpikir.
Keberanian sejati bukanlah tentang seberapa lantang seseorang berbicara di belakang, tetapi seberapa tegas ia berdiri di hadapan. Sebab, kritik yang hanya berani berbisik di sudut-sudut sepi bukanlah cerminan intelektualitas, melainkan sekadar keberanian yang kehilangan alamat.
Sebuah lingkungan yang sehat bagi pertumbuhan intelektual menuntut keberanian untuk berdialog, berdebat, dan menerima kritik sebagai bagian dari dinamika berpikir yang dewasa. Kejujuran dalam menyampaikan kritik secara terbuka tidak hanya mencerminkan integritas intelektual, tetapi juga menunjukkan penghormatan terhadap kebebasan berpikir yang menjadi fondasi peradaban yang maju. Sebaliknya, ketika kritik hanya menjadi gema dalam ruang-ruang tertutup, maka yang terbangun bukanlah tradisi ilmiah yang kuat, melainkan budaya kepengecutan yang mereduksi makna sejati dari keberanian akademik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI