Ada momen dalam hidup ketika seseorang menemukan sebuah pintu yang, sekali dibuka, membawa pada dimensi baru yang tak terduga. Bagi saya, pintu itu berwujud serial Supernova karya Dee Lestari.
Perjalanan membaca saya dimulai dengan sebuah peristiwa yang menjadi titik balik: bersentuhan dengan karya Dee Lestari. Seri ini, dimulai dari Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Akar, Petir, Partikel, hingga Gelombang, membuka cakrawala baru dalam hidup saya. Bukan hanya alur ceritanya yang memikat, tetapi juga kedalaman filosofis dan eksplorasi tema yang membangkitkan kecintaan terhadap literasi.
Dari cinta yang tumbuh pada halaman Supernova, saya terjun lebih jauh ke dunia literasi. Dalam satu hari, novel seperti Pejalan Anarki karya Jazuli Imam, Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, atau Rahasia Meede karya E.S. Ito, mampu saya lahap tanpa jeda, meninggalkan jejak kesan mendalam bahwa membaca adalah pengalaman yang asyik, bahkan adiktif. Ketertarikan ini tidak berhenti pada fiksi; ia berkembang menjadi rasa haus akan pemikiran-pemikiran mendalam yang menguji batas logika dan emosi saya, membawa saya pada pengantar filsafat yang memukau, membuka jalan menuju karya-karya yang lebih kompleks.
Beranjak ke bacaan filosofis, saya menemukan God is Dead karya Friedrich Nietzsche, Fihi Ma Fihi karya Jalaluddin Rumi, Tuhan Tidak Perlu Dibela karya Gus Dur, hingga karya revolusioner Tan Malaka seperti Madilog, Aksi Massa, dan Menuju Merdeka 100%. Bacaan ini memperluas perspektif, menantang cara berpikir lama, dan memicu refleksi mendalam tentang dunia.
Selanjutnya, saya menyelami karya-karya pemikir modern seperti Matinya Kepakaran oleh Tom Nichols, Paradigma Kaum Tertindas oleh Ali Syariati, Das Kapital oleh Karl Marx, serta tulisan-tulisan reflektif Cak Nun seperti Kyai Hologram dan Kapal Nabi Nuh Abad 21. Tak lupa, pemikiran Nurcholish Madjid dalam Ensiklopedia Nurcholish Majid Jilid 1 & 2, Muhammad Iqbal dengan Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, Murtadha Muthahhari melalui Epistemologi Islam dan Manusia dan Alam Semesta, hingga Falsafatuna oleh Baqir Shadr, semuanya memberikan kedalaman intelektual yang tak ternilai.
Saya juga mengeksplorasi karya-karya sastra dan filsafat lainnya, seperti Sampar dan Krisis Kebebasan karya Albert Camus, Hipersemiotika dan Dunia yang Dilipat oleh Yasraf Amir Piliang, The Third Way oleh Anthony Giddens, Logika Penemuan Ilmiah oleh Karl Popper, dan kisah ikonik Sherlock Holmes.
Literasi ini membawa saya kepada pemikiran tokoh besar lainnya: Muslim Tanpa Masjid dan Islam sebagai Ilmu karya Kuntowijoyo, Sejarah Filsafat Barat oleh Bertrand Russell, Filsafat Politik karya Henry Schmandt, hingga Mukaddimah karya Ibn Khaldun. Saya juga mendalami buku hukum seperti Hukum Perdata, Hukum Pidana, KUHAP, KUHPerdata, dan buku Argumentasi Hukum.
Tak berhenti di sana, saya membaca Agama Jawa karya Clifford Geertz, serta buku pengembangan diri seperti Habits karya Charles Duhigg, Atomic Habits karya James Clear, dan Bicara Itu Ada Seninya. Selain itu, saya menelusuri karya-karya al-Ghazali seperti Tahafut al-Falasifah, Logika Aristoteles, 48 Hukum Kekuasaan oleh Robert Greene, Dunia Kafka oleh Haruki Murakami, hingga tulisan Roland Barthes dalam Kesenangan Teks.
Karya intelektual lainnya yang saya eksplorasi termasuk Mencari Hati Perempuan dan Islam & Kosmologi Perempuan oleh A.M. Safwan, Nunchi karya Euny Hong, Filsafat Hukum oleh Herman Bakir, Muhammad dan Umat Beragama oleh Fred M. Donner, serta Nilai Dasar Perjuangan HMI karya Azhari Akmal Tarigan.
Dari tahun 2015-2024-kematian, membaca bukan hanya mengubah cara saya berpikir, tetapi juga memperkaya cara saya melihat dunia. Setiap buku adalah lompatan kecil menuju pemahaman yang lebih luas, dan perjalanan ini tidak akan pernah berakhir. Membaca adalah sebuah investasi intelektual yang tak ternilai, menjadikan saya manusia yang terus bertumbuh, dengan pikiran yang lebih terbuka dan refleksi yang lebih mendalam.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!