Masa kecil adalah fondasi tempat kita mulai membangun kehidupan. Namun, seperti fondasi yang retak, pengalaman menyakitkan di masa itu sering meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Luka-luka tersebut, meskipun tak terlihat, memengaruhi cara seseorang memandang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Mereka seperti akar pohon yang tersembunyi jauh di bawah permukaan tanah, mencengkeram erat, dan diam-diam memengaruhi pertumbuhan yang tampak di atas. Dalam banyak kasus, pohon itu tumbuh bengkok, menyesuaikan diri dengan tekanan yang tak terlihat dari lingkungannya.
Kesulitan meminta bantuan adalah salah satu dampak yang kerap muncul. Bukan sekadar soal kebiasaan, ini lebih mirip dengan seorang pelaut yang pernah karam dalam badai besar. Ia akhirnya belajar bertahan sendiri, meskipun ada kapal yang menawarkan bantuan. Pengalaman masa kecil yang penuh penolakan atau pengabaian membuat mereka percaya bahwa meminta tolong hanya akan membuka peluang untuk kecewa lagi. Kepercayaan ini terbawa hingga dewasa, menjadi keyakinan bahwa dunia akan tetap sepi dan tak bersedia hadir sebagaimana yang pernah mereka alami.
Demikian pula, penolakan terhadap pujian sering kali mencerminkan luka yang lebih dalam. Seperti melihat pantulan di cermin yang retak, mereka hanya melihat bayangan yang terdistorsi, bukan refleksi sebenarnya. Bagi mereka yang jarang menerima penghargaan di masa kecil, pujian terasa janggal dan bahkan menyakitkan. Seolah-olah, pujian itu bertentangan dengan narasi diri yang telah mereka yakini bertahun-tahun---bahwa mereka tidak cukup layak atau berharga.
Selain itu, trauma masa kecil juga dapat mendorong seseorang untuk meminta maaf berulang kali, bahkan ketika tidak ada kesalahan yang jelas. Mereka hidup dalam kewaspadaan terus-menerus, takut menyinggung atau memicu kemarahan orang lain. Permintaan maaf menjadi tameng yang selalu siap digunakan untuk meredam konflik yang belum terjadi. Namun, pola ini sering kali membuat mereka kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kesalahan nyata dan rasa bersalah yang hanya lahir dari luka di masa lalu.
Trauma yang mendalam juga sering mengaburkan memori masa kecil. Kenangan-kenangan menyakitkan itu terkubur seperti rumah tua yang ditinggalkan karena terlalu banyak cerita pilu. Meski demikian, rumah itu tetap berdiri di sana, tersembunyi di balik semak belukar. Ketidakmampuan untuk mengakses bagian-bagian penting dari masa kecil ini menciptakan perasaan kekosongan, seperti kehilangan bagian dari diri sendiri, meskipun sebenarnya semua itu masih ada, hanya tersimpan di ruang yang sulit dijangkau.
Namun, meski luka masa kecil mungkin tampak seperti retakan yang tak dapat diperbaiki, ada jalan untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang berarti. Proses penyembuhan tidak harus tentang menghapus luka itu, tetapi tentang menerima keberadaannya dan menemukan cara untuk membangun kekuatan dari sana. Misalnya, belajar meminta tolong bukan hanya soal mengandalkan orang lain, tetapi juga memberi diri sendiri kesempatan untuk mempercayai bahwa dunia ini masih memiliki kebaikan. Menerima pujian, meski terasa sulit, adalah langkah menuju pengakuan atas nilai diri sendiri---melihat diri seperti orang lain melihat kita, dengan segala keutuhannya.
Trauma masa kecil tidak harus menjadi penjara. Seperti pohon bengkok yang tetap tumbuh kokoh meski diterpa angin, kekuatan seseorang sering kali ditemukan dalam cara mereka beradaptasi dengan luka yang mereka bawa. Harapan bukan tentang menghapus masa lalu, melainkan membangun masa depan yang lebih kuat dan penuh arti. Dalam setiap langkah menuju pemulihan, mereka menunjukkan bahwa luka bukanlah definisi diri, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang lebih luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H